komputer cap jangkrik

Entah siapa yang menciptakan kata-kata nyentrik ini, yang jelas istilah ‘komputer cap jangkrik‘ sangat populer di tahun 1980/1990-an, saat-saat awal PC (personal computer) mulai dikenal dan digunakan di rumah/perkantoran.

Terus-terang, dulu sempat yang terbayang adalah sebuah komputer dengan merk (cap) yang ada gambar jangkriknya. Bukan itu. Pencerahan terjadi ketika main ke daerah Orion-Harco-Glodok (Jakarta kota), seorang pedagang di sana memperlihatkan komputer rakitannya yang belum selesai, lalu menunjuk setumpuk label (dengan berbagai merk) yang siap ditempel. Sambil senyum, si Engkoh berkata:

“Kita bisa kasih cap apa aja yang you mau, barangnya ini.” >:D

Aha! Ternyata itu maksudnya(!). Istilah ‘cap jangkrik’ memang dipakai untuk mengacu kepada komputer [desktop] rakitan sendiri (buatan lokal—dan yang bisa diberi cap apa saja), guna membedakannya dengan komputer branded (buatan luar negeri—yang merknya dikenal luas) seperti IBM, Toshiba, Fujitsu, Apple dsb.

Dengan kata lain, komputer cap jangkrik adalah komputer yang produsennya tidak jelas.

Harga komputer cap jangkrik pada pertengahan 1980-an sekitar Rp1,5 juta atau setara dengan ‘uang gedung’ universitas swasta kelas menengah-atas di Jakarta. Harga komputer branded lebih bervariasi, tetapi jangan terlalu berharap kurang dari dua kali itu.

blue-desktop (pageresource_com)_borderlessSoal mutu? Ada harga ada rasa. Performa komputer branded lebih stabil, sedangkan si jangkrik lebih gampang ‘hang’ dan komponen lebih gampang teriak kepanasan—terutama jika dipakai nonstop (lebih dari 1×24 jam di suhu kamar tanpa AC, misalnya). Umur yang branded juga lebih lama, bisa sekitar lima tahun, sedangkan si jangkrik jika bisa tiga tahun bebas masalah saja sudah bagus.

Tapi ada beberapa hal tentang komputer cap jangkrik yang mungkin luput dari perhatian orang.

Fakta.. (lanjutannya)

ulama – fatwa

Rasanya semua tahu, istilah Arab (Islam) ulama berarti: mereka yang ahli dalam agama Islam. Ini tidak salah. Sebagai sebuah istilah, arti atau pengertian ulama memang seperti itu. Tetapi agar pemahamannya lebih utuh, tidak ada salahnya kita sedikit menggali lebih dalam kata ini dari aspek bahasa, yang pengertiannya agak berbeda—lebih luas.

*****

Kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim yang berarti ‘orang yang berilmu‘ (scholar, jika dalam bahasa Inggris). Sehingga secara harfiah, mereka yang jadi saksi ahli dalam persidangan misalnya, juga pantas disebut ulama meski keahlian mereka bukan dalam hal agama—tetapi kedokteran atau forensik, katakanlah (karena bagaimana mungkin mereka dimintai pendapat untuk perkara penting seperti sebuah pengadilan, jika tidak dianggap cukup berilmu?).

Dengan kata lain, alim-ulama adalah kaum cerdik-pandai. Hanya saja gelar ‘alim’ (atau ‘ulama’) didapat bukan melalui jalur ‘resmi’ (seperti sekolah dan kemudian mendapatkan ijazah), tetapi merupakan pengakuan informal masyarakat atas [bobot] keilmuan seseorang (sesuai bidang masing-masing). Sehingga para tabib atau ahli ilmu falak (astronomi) yang selama hidup tidak pernah duduk di bangku kuliah pun dapat disebut sebagai ulama jika memang masyarakat menilai mereka pantas disebut demikian (sekali lagi, ini jika ditinjau dari segi bahasa).

Berdasarkan ‘kewenangan keilmuan‘ yang dimilikinya, seorang ulama biasa memberikan atau dimintai pendapat. Pendapat ulama (lazim disebut dengan fatwa), meski bukan merupakan hukum, patutlah diperhatikan karena dikemukakan oleh mereka yang ahli di bidangnya.

Karena pendapat orang bisa berbeda.. (lanjutannya)