backward clock

Seorang pelaut turun dari kapal lalu masuk ke sebuah bar. Saat angkat gelas, lho..??

Itulah adegan-adegan awal “Dans la Ville Blanche”, sebuah film Swis/Inggris/Portugis garapan sutradara Alain Tanner yang rilis tahun 1983. Rentetan raut muka itu sendiri menelan waktu sekitar 20 detik (suatu visual yang berani sebab kebilang lama untuk sebuah close-up wajah). Sebuah durasi suasana hati—yang bisa membuat sebuah tegukan air jadi berlipat nikmat..

Dan ternyata ini yang bikin gara-gara. . .(lanjutannya)

benang merah

( + kilas )

Sekarang ini kita sedang kedatangan tamu, Raja Arab Saudi—Salman bin Abdulaziz al-Saud. Salah satu agenda Sri Baginda dalam lawatan ini: beramah-tamah dengan tokoh lintas agama.

Januari lalu, satu tempat ibadah lagi, sebuah pura, hadir di lingkungan Sekolah YPIM (Yayasan Perguruan Iskandar Muda) Medan—menemani masjid/gereja/wihara yang sudah duluan ada. Syafii Maarif, dalam pidato peresmiannya,

“. . .Toleransi itu sebelumnya telah terwujud sejak zaman Majapahit. Mpu Tantular, penulis Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, adalah penganut Buddha aliran Tantrayana. Meski demikian, ia diterima Kerajaan Majapahit yang menganut Hindu. Namun saat ini, ada pihak-pihak yang memonopoli kebenaran dan merasa masuk surga sendiri. . .”

Setahunan lalu, pada peringatan Maulid, gelak tertahan berkali-kali terdengar di Istana Negara tatkala isu-isu kompleks, berat dan sensitif mengalir segar dalam sajian nan mudah diterima. Hasyim Muzadi, dengan tausiahnya,

. . .(lanjutannya)