( + kilas )
Sekarang ini kita sedang kedatangan tamu, Raja Arab Saudi—Salman bin Abdulaziz al-Saud. Salah satu agenda Sri Baginda dalam lawatan ini: beramah-tamah dengan tokoh lintas agama.
Januari lalu, satu tempat ibadah lagi, sebuah pura, hadir di lingkungan Sekolah YPIM (Yayasan Perguruan Iskandar Muda) Medan—menemani masjid/gereja/wihara yang sudah duluan ada. Syafii Maarif, dalam pidato peresmiannya,
“. . .Toleransi itu sebelumnya telah terwujud sejak zaman Majapahit. Mpu Tantular, penulis Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, adalah penganut Buddha aliran Tantrayana. Meski demikian, ia diterima Kerajaan Majapahit yang menganut Hindu. Namun saat ini, ada pihak-pihak yang memonopoli kebenaran dan merasa masuk surga sendiri. . .”
Setahunan lalu, pada peringatan Maulid, gelak tertahan berkali-kali terdengar di Istana Negara tatkala isu-isu kompleks, berat dan sensitif mengalir segar dalam sajian nan mudah diterima. Hasyim Muzadi, dengan tausiahnya,
Dari semua itu, beberapa poin penting bisa kita ambil..
*****
Raja Salman memberi sinyal kuat (kepada kita/rakyat Arab/dunia)—suatu pengakuan, bahwa berteman dengan Indonesia butuh berbaik ria dengan sebuah kolektif besar yang majemuk.
Buya Syafii tegas menyatakan bahwa sebuah bangsa perlu cerdas memberdayakan segenap potensi yang dimilikinya—termasuk keheterogenan karakteristik sumber daya manusianya.
Kyai Hasyim, dengan kelakarnya yang ciamik, lugas menjelaskan bahwa keping-keping detail yang sarat perbedaan bukan halangan untuk membangun sebuah big picture yang harmonis.
Meski beda peristiwa/tokoh/waktu, jelas terlihat bahwa kesemua poin tersebut mempunyai benang merah, yaitu adanya kepedulian khusus (dari semua pihak di atas) akan:
‘kebersamaan dalam keberagaman’
Suatu perhatian/kekhawatiran yang rasanya amat beralasan jika melihat kejadian di berbagai penjuru dunia akhir-akhir ini di mana intoleransi (terhadap perbedaan) terasa kian artikulatif (kadang bahkan terlegitimasikan secara ‘formal-institusional’—di negeri ‘si Paman’ itu, mis).
Lebih jauh, kita juga bisa bilang kalau ketiganya ‘berunjuk sikap’ menyuarakan bahwa mereka yang kebetulan punya ‘kuasa lebih’ (karena jadi bagian dari mayoritas, katakanlah) juga punya tanggung jawab lebih untuk mengayomi keberagaman itu (bukan terus mau menang sendiri).
Sejalin unjuk sikap yang rasanya sayang jika gaungnya kita biarkan sepi
Terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih, Buya. Terima kasih, Pak Kyai.
*****
———————————
(Juga tentang kebersamaan dalam keberagaman, lihat artikel ‘tahun baru’)
Seputar topik:
Ungkapan ‘menarik benang merah’ berarti membaca keterkaitan (seperti sebuah motif yang muncul berulang atau semacam faktor yang menyatukan) atas/dari sekumpulan hal/perkara.
Karena sifatnya yang tidak eksak, dua orang yang berbeda bisa saja ‘menarik benang merah’ (melihat keterkaitan) yang berbeda dari sejumlah perkara yang sama, atau dengan kata lain, sering ada lebih dari satu benang merah yang bisa kita tarik dari serangkaian peristiwa.
Catatan:
Syafii Maarif adalah ulama/pendidik, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Hasyim Muzadi adalah ulama/anggota Dewan Pertimbangan Presiden, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU).
tausiah = pesan, nasihat
Referensi:
● “Toleransi Simbol Masyarakat Beradab” (Kompas, 8 Januari 2017, hal-1)
● “Kakawin Sutasoma” (wiki)
● “Ahmad Syafii Maarif” (wiki)
—KK—
Jadi Kalo makan bolak balik di pesta termasuk motif yang sama ya? Bisa jadi karena ada benang merah juga ya..?#eh,
Mungkin benang merahnya tidak rela hidangan jadi mubazir.. 🙂
Terima kasih Mas Kuka. Benang merah mengikat alur kebersamaan.
Benang merah yg ‘mbundhet’ yg sering membuat pusing kepala ternyata bisa terlihat nyeni bila dilihat dengan perspektif luas. Salam
Dengan senang hati Bu Prih. Semoga demikian halnya.
Suka agak geregetan juga kalau mbundhetnya karena alasan yang tidak-tidak yang lalu berkepanjangan, apalagi kalau melihat artisnya itu-itu juga hehe.. Salam.