( 6☀️blog #2/3 )
Acap berkonotasi dengan hal-hal yang wah/super-canggih/ultra-modern/hanya dikuasai oleh negara-negara maju dsb, teknologi antariksa (space technology) kadang—secara agak lucu, justru memunculkan sikap yang ‘anti-kemajuan’.
[ Mau ‘Sedikit-melek’ Aja Nggak Boleh ]
A: “Gilak! Emang hebat-hebat ya mereka itu..”
B: “Keren, sih. Gue pingin baca-baca soal antariksa ah!”
A: “Lagu lu kayak orang pinter. Udah, pokoknya itu bukan buat kita!”
Benar atau salah konotasinya, mental ‘inferior-fatalis’ ala si-A sungguh tidak perlu diamini.
*****
Sedikit atau banyak, sebuah ciptaan pasti bercerita akan penciptanya. Ini juga berlaku bagi teknologi antariksa, yang amat kaya bercerita tentang manusia—pencipta, pun penggunanya.
Meneruskan spirit tulisan sebelumnya, kita mulai dari lima puluh tahun silam—Apollo-11.
Teknologi modern ’69
Harus tahan terpaan debu meteor dan terdiri dari 21 lapis, baju astronot jelas bukan setelan sembarangan. Problem: NASA bukan ahli jahit. Solusi: Tangan-tangan terampil para ibu/mbak dari perusahaan pembuat korset/BH. Menang seleksi melalui kompetisi, mereka terbukti jago bikin ‘pembungkus’ yang ngepas (sesuai bentuk) dan fleksibel (akomodatif terhadap gerakan).
Ini adalah tentang menyiasati keterbatasan
Tidak bisa tidak, untuk urusan navigasi/darurat, nenek moyang pesawat Star Trek mesti pula dilengkapi dengan ‘mesin pintar’—yang jauh melampaui zamannya. Tetapi itu dulu—setengah abad yang lalu. Dilihat dari perspektif ’80-an, total memori high-end technology NASA ini tak lebih sakti daripada ROM/RAM komputer cap jangkrik yang mulai merebak di Jakarta kala itu. Dan kini, kecekatan berpikir gawai standar anak SD jaman now telah ribuan kali lebih cepat.
Semua teknologi canggih suatu saat bakal terlihat norak
Bahwa faktanya dengan ‘teknologi norak/jadul’ ada orang bisa sampai ke Bulan dan dengan ‘teknologi wow/kekinian’ orang lain justru cuma bisa lakukan hal-hal remeh atau malah jadi ketagihan mudarat (ribut/pamer dll), itu soal ‘pilihan’—attitude, orang maunya bagaimana.
Ada perbedaan yang jelas antara menguasai dan dikuasai ‘alat’ (teknologi, senjata, ilmu dll).
Teknologi tinggi ’57
Dua belas tahun sebelum hits ‘tapak sepatu Amerika’, Uni Sovyet (sekarang Rusia) melakukan sesuatu yang tak kalah dahsyat: merintis ‘Era Antariksa‘ (the Space Age), dengan meluncurkan satelit—bulatan angker mengkilap segede 2,5x bola basket yang waktu itu tidak bisa apa-apa kecuali terus-menerus mengeluarkan sinyal untuk membuktikan bahwa ia sukses mengorbit.
Sebuah ‘kecanggihan’ butuh proses—tidak lahir ujug-ujug
Sekarang teknologi antariksa paling ecek-ecek ini sudah jadi urat-nadi informasi bagi manusia. Telepon, TV, internet—apa pun yang intinya trafik non-fisik jarak jauh, semuanya butuh satelit.

Netizen ogah ‘melek antariksa’ = citizen buta negara 🙂
Totol-totol itu kini jumlahnya sudah ribuan. Melaju dengan kecepatan yang membuat mobil balap Formula-1 jadi bak pedati. Bertahun-tahun mengitari Bumi tanpa henti, tanpa BBM(!) Tidak peduli orang di bawahnya ngeh—aware, atau tidak.
Ada perbedaan yang jelas antara negara maju dan yang sekadar menikmati teknologi maju.
*****
Sejarah ‘Sputnik-1’ dan ‘Apollo-11’ di satu sisi dan tabiat kita (manusia modern yang tak pernah sepi dari alat-alat canggih) di sisi lain rasanya cukup menyahihkan bahwa hal-hal yang bersifat mental (seperti akal dan nyali sehat, determinasi, kemampuan bekerja sama serta konsistensi antar-generasi) lebih menentukan ‘kemajuan‘ [suatu negeri] daripada ketersediaan teknologi.
Pada hakikatnya,
‘Mutakhir’ hanyalah sebuah predikat sesaat,
dan teknologi bisa dibeli—atau kalau perlu dicuri(!)
Namun,
‘Kualitas mental’ adalah sebuah cerita panjang,
dan karakter harus dibangun
‘Mainan’ (HP) canggih sampai ke Langit, kuncinya ada di [faktor] manusia juga. 🍸
———————————
CATATAN
Antariksa (Space) ialah istilah bagi Ruang di luar atmosfer Bumi (Antariksa = Semesta – Bumi). Artinya jika kita terjun payung atau naik pesawat terbang, itu dihitungnya masih di Bumi. Akan tetapi kalau kita mengorbit seperti satelit atau main ke Bulan, itu baru namanya di Antariksa.
Teknologi antariksa – segala hal yang berkait dengan penerapan sains dan teknologi dalam eksplorasi (penyelidikan/penjelajahan) & eksploitasi (pendayagunaan/pemanfaatan) antariksa.
Meski secara prinsip sebuah satelit tidak butuh ‘BBM’ (fuel), pada prakteknya ada pakai juga. Pertama untuk roket yang membawanya naik ke angkasa. Kedua untuk pendorong (thruster) saat ‘geser-geser posisi dikit’ (orbit melenceng, hindari tabrakan, pindah ke ‘orbit kuburan’ dll). Tetapi ini tidak mengubah fakta bahwa satelit bisa mengorbit lama sekali tanpa bahan bakar.
Meski saat ini banyak ‘pihak’ (bahkan swasta) punya satelit (Indonesia yang ke-15, tahun 1976), baru sekitar 12 negara yang mampu merancang-bangun satelit + peluncur satelitnya sendiri.
Jika Pembaca masih asing tetapi tertarik dengan ‘polah’ satelit, bisa coba googling dari ini:
1. Geosynchronous orbit (GSO)
2. Geostationary orbit alias Geosynchronous equatorial orbit (GEO)
3. lalu cek kenapa di atas/bawah ‘ketinggian GSO’ satelit bergerak lebih lambat/kencang
Tetapi jika [karena faktor bahasa dll] itu terlalu njlimet, silakan sampaikan di sini. Mungkin kita bisa sedikit bahas ‘kecepatan vs gravitasi’ secara abal-abal. (#salam sesama awam)
PERSPEKTIF
Dengan segala keterbatasannya (termasuk standar input/output device yang ‘nestapa’ bahkan kalau sekadar dibandingkan dengan komputer cap jangkrik tahun 80-an), komputer Apollo-11 adalah sebuah teknologi yang tailor-made untuk tugas yang sangat spesifik (berbeda dengan laptop ataupun smartphone yang bersifat all-purpose sekaligus memanjakan penggunanya). Bahwa teknologi yang ‘bisanya cuma itu-itu aja’ sering terbukti ‘andal berfungsi’ bisa kita lihat contohnya pada kasus kalkulator saku, mesin ketik atau sistem rem sepeda jengki/jadul.
REFERENSI + SUMBER GAMBAR/AUDIO
● Wiki (satelit/gambar dan Sputnik-1/audio)
● RealClear Science (komputer Apollo-11)
● History (para ibu/mbak penjahit baju)
TRIVIA
● Perusahaan pakaian dalam wanita tersebut adalah Playtex.
● Satelit tertua yang masih mengorbit hingga hari ini ialah luncuran Maret 1958 (61 tahun).
Jarak rata-rata Bumi-Matahari ialah sekitar 150 juta km—disebut, astronomical unit (AU). Jadi bahwa Neptunus itu ‘juauuh’ (baik dari Bumi maupun Matahari), jelas terlihat dari ini:
Matahari-Bumi = 1 AU
Matahari-Neptunus = 30 AU
Ibarat destinasi wisata, bagi kita ke Neptunus itu 29 kali lebih jauh daripada ke Matahari. Asyiknya, pada kenyataannya kita sudah—dan masih, pergi jauh lebih jauh daripada itu.
Misi ‘piknik forever’ (tanpa BBM) ini diwakili oleh wahana Voyager-1 dan Voyager-2 yang telah 7 dan 1 tahun meninggalkan Tata Surya—sukses melewati [orbit] Neptunus, bablas menembus Bima Sakti.. Dan kita semua bisa cek sudah sejauh mana keduanya sekarang:
Klik ‘Space bar’ real-time ini!
Idenya adalah, kedua ‘pelancong’ interstellar (antar-bintang) yang berangkat dari Bumi tahun 1977 ini kirim kabar ke ‘Rumah’ tentang apa yang mereka temui ‘di jalan’ agar kita (dan generasi mendatang) punya pemahaman lebih baik—akan ‘Hamparan Pemberian’..
(#merdeka belajar)
—KK—
These are rather difficult for me to read, as I have to use Google Translate. But I learned a couple of new words this time: Matahari = sun, and suka = like. Interesting… “suki” is the Japanese word for “like”.
Applying light traveling at “C” to the concept of relative distance can be revealing. It would only take about 0.13-seconds for a beam of light to travel around the earth. But shining a laser at one of the retro-reflectors left by astronauts on the moon, the reflection is seen almost 2.5-seconds later. We see the sun as it was about 8.5-minutes ago. And if we radioed a question to astronauts at Neptune, it would take about 9-hours to hear their reply. Putting something into a low orbit is one thing. But the Solar System is a big place.
From NASA: spacemath(DOT)gsfc.nasa.gov/weekly/10Page2.pdf
=====(Here the article goes)=====
It’s kind of funny that filling people ‘with [so much] awe’, space tech sometimes makes them suffer from ‘inferiority complex’ (represented by A in the example).
*****
All creations always say (must tell us) something about their creator[s]. It’s no exception with space tech, which says a lot about us—its creators and/or users.
Modern technology ’69
Quite a bunch of things we can learn from here, like:
1. Technology is about conquering a limitation (by workaround, collaboration etc). That is, it doesn’t necessarily have to be manufactured in a sophisticated way (e.g. the spacesuit).
2. ‘Modern’ will someday become ‘old/obsolete’—or ‘sophisticated’ becomes ‘dumb’, if you excuse my expression (I use the memory and processing speed of NASA’s AGC computer of ’69 and home-office PC of the 80’s / smartphones of today for comparison).
So, the fact that with ‘silly/old’ tech some people could go to outer space and with ‘smart/nowadays’ tech others can only do trivial things (or worse, become addicted to negative activities) must rely more on [the people’s] attitude (not the tech).
High technology ’57
This part is somewhat more complicated than the preceding one. But in a nutshell:
“These days, no developing country can expect to become a developed one without [many of] its [common] citizens become adequately ‘Space literate’ first” (Like, being aware of what is happening ‘above’ as the GIF image illustrates)
*****
The story of ‘Sputnik-1’ and ‘Apollo-11’ tells us that if ‘being progressively civilized’ (of a society/nation) is the case, mental traits (like healthy guts, common sense, synergy or intergenerational consistency) are more important than technological availabilities.
‘Modern’ is a short-lived status, and technology can be bought (or stolen if it calls for that), BUT [collective] ‘mental quality’ is a [very] long story, and character must be built.
No matter how advanced the tech is, human is the key.
————————
THE PART IN YELLOW
To any interested laypersons, I’m offering some tips if they want to know more about satellites. (And as the good references are mostly in English while many Indonesians don’t speak it, I’m open for not-quite-scientific discussions about ‘velocity vs gravity‘ to those who have language troubles)
THE PART IN GREEN
The fun session. And a reminder of how far we’ve still been going.
I’ve got to skip the cool ‘slingshot effect‘ (and how admirable the Americans are for not missing this one-and-three-quarters-of-a-century ‘divine intervention’) because it’s too dang technical.
=====(end of article)=====
Not intended to be a thorough summary, that’s just about it. Facts and opinions—and wishes, combined. All in all, it’s about awareness.
Real glad hearing from you again Kumi. Many thanks 🙂 Cheers!
I don’t know any Indonesian, so I can’t say how different it is to English. But I can at least get the idea of what you’re talking about from Google Translate. English and Japanese, however, don’t translate at all… sometimes, not even when I do it myself. That said… よろしくお願いします。
As Space is not an everybody’s topic of interest, I use a number of approaches (dialects, vernaculars etc—even one made-up word) to make it less intimidating. So yeah, that would doom translators. 🙂 Much appreciated.
Terima kasih. 🍸
Teknologi yang sekarang wow, di masa datang bisa nggak mutu. Iya, makanya orang harus terus berkembang, karena yang sekarang kita pelajari mungkin nggak akan terpakai di masa depan.
Akur Dyah. Semoga kita suka pada ‘melek’ dan ngeh arah perkembangan ya (dan bukan malah mabok mengatasnamakan Tuhan pingin kembali ke masa silam) 🙂
Teknologi saat ini terus berkembang pesat.
Mungkin suatu hari nanti, pesawat antariksa pun bisa mencapai galaksi yang berbeda.
Saya sih mbayanginnya juga begitu (entah bagaimana caranya, atau kapan). Ibaratnya, kita sekarang ini seperti manusia gua yang masih kesulitan untuk sekadar membayangkan bagaimana orang bisa pergi jauh mengarungi laut.
‘Cuma soal waktu’, kata orang. 🙂
Jadi… nenek moyang baju astronot yang dipakai Sandy-nya Spongebob itu dibikin oleh produsen BH? 😀
Wih, Voyager-1 dan -2 sudah keluar galaksi? Mudah-mudahan bisa ketemu Dyson sphere, atau sekalian ketemu alien, biar manusia nggak angkuh lagi menganggap diri raja sekalian alam. 😀
Haha.. Karena Spongebob cs ‘orang’ Amrik, bisa dibilang begitu
(entah kalau untuk yang kosmonot Sovyet).
Duo Voyager ‘cuma’ keluar Tata Surya, tapi ini pun sudah hebat sekali. Kalau berkenan, bisa cek artikel ‘tahun cahaya’—gambar galaksi-nya bisa diklik (untuk melihat ‘kecilnya’ Tata Surya), lalu di bagian bawah ada animasi yang menurut saya keren abis (‘ngukur diameter’ dari Bulan s.d. Alam Semesta diiringi musik apik, tak sampai 7 menit).
Saya mbayanginnya ‘mengenal Alam Semesta’ jadi pelajaran wajib sejak bangku SD dst, biar selalu nyadar betapa kecil dan nggak tahu apa-apanya kita ini. Kalau tidak resikonya ya seperti sekarang ini, orang gampang kofar-kafirin orang lain—padahal paham ciptaan aja enggak/ogah, tapi merasa paling berhak mengatasnamakan Yang Nyiptain (alias sombong nggak mau kenal, tapi sukanya ngaku paling akrab) 🙂