illegal fishing

( 6☀️blog #3/3 )

Susi Pudjiastuti, di Konferensi Kelautan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) medio 2017:

Susi Pudjiastuti vs illegal fishing“Illegal fishing is an international problem, and countering it requires cross border cooperation between countries.”

“I urge all nations to join me in sharing their vessel monitoring data with Global Fishing Watch. Together, we can begin a new era in transparency to end illegal and unreported fishing.”

Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia (saat itu) tersebut menyeru kepada dunia agar mau berbagi data guna memerangi IUU—illegal, unreported and unregulated fishing (penangkapan ikan yang ilegal, tidak terlaporkan dan menyalahi aturan)—atau biasa disingkat illegal fishing.

Sebuah gawe internasional, tetapi ini sungguh BUKAN cuma soal ikan atau fulus.

*****

Ada banyak modus operandi dalam illegal fishing. Tiga yang berikut ini sekadar contoh.

Yang model tradisional : selonong boy

Kapal asing diam-diam masuk ke perairan Indonesia. Ambil ikan. Lalu cabut. (Alias masih lebih sopan jelangkung—yang jika datang selalu laporan, tidak nyuri dan perginya pakai exit permit)

Versi yang lebih siaul dari modus ini adalah dengan menggunakan jasa ‘escort’ seperti yang di Natuna tempo hari—di mana sejumlah biduk penjarah dikawal oleh ‘kapal petugas’ negeri ybs (macam bodyguard, sekaligus sebagai isyarat agar nelayan lokal mingser tidak mendekat).

Yang lebih canggih : transshipment

Kapal kecil (indonesia) ‘lepas dermaga’. Dapat banyak ikan bukannya terus pulang tetapi malah kencan di laut dengan kapal besar (asing) untuk transshipmentartinya di sini, alih-muat ikan dari kapal ke kapal yang dilakukan di tengah laut. Lalu cari ikan/transhipment lagi (berkali-kali). Ketika ‘rapat dermaga’, kapal kecil melaporkan/menunjukkan hasil tangkapan yang wajar serta tidak melanggar aturan—baik dalam jumlah maupun jenis (padahal sudah kantongi dolar).

Jadi dalam modus ini kapal-kapal kecil berperan sebagai pemasok sedangkan sang kapal besar sebagai bandar/pengepul/tukang tadah—di tengah laut (dengan ‘kantor’ yang bisa ngilang).

Yang paling kurang ajar : perbudakan

Lewat pikatan calo (bahwa ada job asyik), orang susah dari Myanmar/Kamboja/Laos dibawa ke Thailand. Dari sana mereka (yang belum ngeh terjebak human trafficking) dibawa lagi ke suatu pulau atau ‘kampung konsentrasi’ (baca: penjara) di Papua Nugini atau—nah ini, Indonesia(!)

Oleh sebuah kapal Thailand lain mereka dibawa melaut, terus-menerus cari ikan/transhipping, selama berbulan-bulan (bahkan tahun). Kebutuhan air/BBM dll ada yang menyuplai di laut.

Saat kembali ke darat (karena kapal toh butuh diservis), bukannya gajian/bebas mereka malah di-pool di ‘kamp’ lagi. Dan jika masih belum ambruk/tewas juga nanti akan dipaksa melaut lagi.

*****

Bicara tentang perang terhadap illegal fishing, kita mesti bicara tentang ‘faktor Susi’.

Mafia ikan

“Bukan lautan, hanya kolam susu..” Laut Nusantara pabrik gizi, mungkin begitu arti lirik lagu Koes Plus tsb. Apapun, faktanya adalah, banyak kapal asing yang keranjingan nilep ikan di sini.

Sesekali ada juga yang ditangkap, tetapi jadinya malah seperti cerita komedi. Setelah disita negara dan dilego dengan harga bantingan ke nelayan lokal, secara ajaib si kapal sialan bisa kembali ke haribaan sang pemilik asli—yang lalu dipakai untuk nyuri ikan di Indonesia lagi.

Punya jaringan luas (antar-negara) serta adanya peran/deking oknum pejabat (daerah/pusat), para bos mafia dikenal sebagai ‘the untouchables’ (mereka yang tidak tersentuh oleh hukum).

Tetapi ibarat bus, Illegal Fishing Empire jadi Full-AC Full-Nightmare sejak di laut ada Susi.

Tenggelamkan!

Ciduk awaknya, tenggelamkan kapalnya. Mafia lokal gigit jari, tidak bisa main kapal sitaan lagi. Dan para pencuri/nelayan asing pun jadi jeri, mendapati gigi mereka satu demi satu dicabuti.

Aktivitas illegal fishing di perairan Nusantara berubah drastis. Meski satu-dua kapal kecil asing masih coba masuk ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia untuk garuk ikan, kapal besar jelas lebih memilih hengkang daripada cari setori di sini. Misalnya bandit satu ini (klik untuk zoom):

thai pirate ship in indonesia

Rute kabur Leelawadee – dari Indonesia sampai ke dekat Madagaskar

Biasa bebas berkeliaran nyomot ikan seenak perut, kapal berbendera Thailand yang terendus sebagai pemain kelas kakap ini terpaksa cari ‘sentra ikan’ lain (meski jika itu harus pergi jauh).

Maling lebih mau ambil resiko masuk neraka [karena mencuri] daripada ditangkap Susi.

AIS dan VMS

AIS (Automatic Identification System) dan VMS (Vessel Monitoring System). Sederhananya, AIS dipasang di kapal besar dan semua kapal penumpang (tidak peduli ukuran), sedangkan VMS untuk kapal ikan. Serupa tapi tak sama, keduanya bisa dimanfaatkan untuk melacak kapal.

Berorientasi trafik/keselamatan (seperti agar kapal tidak tabrakan), AIS bersifat unencrypted (tidak ter-enkripsi, bisa diakses siapa saja). Berorientasi kepentingan nasional, VMS bersifat encrypted (ter-enkripsi, VMS kapal suatu negara hanya bisa diakses oleh otoritas negara ybs).

Tarikan gampangnya, itu kenapa dalam skala glogal tabrakan di laut bisa amat diminimalisir (karena banyak pihak bekerja sama—sehingga saling tahu posisi, meski dalam kabut/badai) namun illegal fishing sulit dibasmi (karena masing-masing negara bekerja sendiri-sendiri).

Kebiasaan saling ‘tahan info’ ini yang secara cantik dikritisi Susi lewat pidato PBB-nya.

Visioner lagi berani

Kasus Leelawadee adalah bukti jika teknologi antariksa (dengan penegakan hukum nan bertaji, tentu saja) bisa dimanfaatkan untuk memerangi illegal fishing. Tetapi agar punya efek global, kejahatan transnasional perlu dihadapi secara lintas-negara pula. “Jadi ayo, buka data VMS!”, begitu kira-kira. Bukan cuma ngomong ngayawara, Susi menunjukkan kalau Indonesia serius:

citra satelit kapal ikan

Peta [sebaran] kapal ikan – ‘Titik-titik lampu’ yang biru adalah data dari Global Fishing Watch, sedangkan yang hijau kelap-kelip (ada sekitar 5 ribu titik) adalah data tambahan dari Indonesia

Idenya adalah, VMS yang ter-enkripsi cenderung membuat aksi/identitas para pelaku illegal fishing jadi aman terlindungi, sebaliknya VMS yang tidak ter-enkripsi akan membuat seluruh dunia jadi cepat tahu (dan sama-sama punya bukti citra satelit) siapa nyolong ikan di mana.

Dari kaget dan tertegun, dunia lalu jadi manggut-manggut...

*****

Alih-alih melulu perkara uang (ekonomi), ini adalah juga perkara kemanusiaan (humanity).

Bukan hanya bagi kita yang hidup hari ini, laut adalah sumur besar nutrisi bagi setiap generasi. Dan persis satwa darat/udara, ikan juga bisa habis gara-gara penangkapan yang tanpa kendali.

Selain membahayakan keseimbangan hayati (termasuk atas makhluk habitat lain yang butuh hidup dari laut seperti sekian jenis burung dan tentu saja manusia), illegal fishing rawan jadi bagian dari penyelundupan, perdagangan orang serta perbudakan. Bagusnya, untuk seluruh muka bumi, sekarang sudah ada mata di luar angkasa. Tinggal kitanya, itu mau dipakai apa.

Apapun, era baru transparansi kelautan [antar-negara] telah dimulai. Indonesia perintisnya.

*****

—————————
(Ini adalah bagian terakhir dari seri tiga tulisan, yang semuanya berkait dengan ‘satelit’)

CATATAN

Setelah Indonesia, negara-negara yang juga sudah meng-unencrypt data VMS mereka a.l. ialah Peru, Panama, Chili dan Kosta Rika. Sementara Australia/Kanada/Inggris/Amerika Serikat (yang tidak lazim dikenal sebagai negara pelaku/korban illegal fishing) andil lewat kerja-sama riset.

Lahir dari joinan Oceana (organisasi konservasi laut), SkyTruth (pakar teknologi satelit untuk lingkungan) serta Google (jagonya ‘big data’), Global Fishing Watch (GFW) adalah organisasi nirlaba internasional independen (Programnya: Ocean sustainability through transparency, data-sharing and collaboration).

Payung hukum opsi penenggelaman kapal ikan asing untuk menumbuhkan deterrent effect (efek preventif + biar kapok) sebetulnya telah ada sebelum Susi menjabat—yaitu di perubahan Pasal 69 ayat 4, UU Nomor 45 Tahun 2009 (yang belum ada mungkin nyali dan integritas).

Illegal fishing (perikanan tangkap ilegal) kadang disebut juga dengan istilah pirate fishing.

KOSAKATA NUSANTARA (Jakarta, Jawa, bahasa pasar & serapan)
cari setori: bertingkah, cari ribut/gara-gara
deking: beking, [orang yang diposisikan atau memosisikan diri sebagai] pelindung
jurnalisme ember: {kalau ini murni ngarang sendiri, terserah mau diartikan bagaimana} 🙂
keranjingan: tergila-gila, suka sekali, kecanduan (keranjingan bola, keranjingan mbasang)
mingser: minggir/geser sedikit [untuk memberi ruang kepada yang lain], menyingkir
ngayawara: tanpa arti (bicara ngelantur ngayawara, omong gagah tetapi ngayawara)
siaul: variasi yang lebih sopan/halus dari kata [makian] ‘sialan’

REFERENSI UTAMA & SUMBER GAMBAR
Associated Press (“Seafood from Slaves”, 2016 Pulitzer Prize for Public Service)
Global Fishing Watch (setelah baca homepage, coba masukkan keyword ‘Indonesia’)
SkyTruth (“Satellites Leave No Place to Hide for Rogue Thai Fishing Fleet”)
● DigitalGlobe (zoom satelit)

UNDUH GRATIS (PDF)
“Sold to the Sea – Human Trafficking in Thailand’s Fishing Industry” (EJF, 2013)
“The Global View of Transshipment: Revised Preliminary Findings” (SkyTruth & GFW, 2017)
“TIP Report 2019” (US State Department)

EKSTRA

Bongkar Muat Ilegal vs Teknologi Angkasa Luar

Reefer ialah sebutan bagi refrigerated cargo ship/vessel—kapal yang sudah dilengkapi dengan ‘kulkas raksasa’/kargo pendingin (ala ‘kapal bandar’ pada umumnya). Bisa pergi amat jauh dari pelabuhan asal (tak takut ikan jadi busuk), reefer adalah biang kerok illegal fishing skala global. Jika geraknya terpantau, spot transhipment-nya (dengan ‘kapal pemasok’) jadi lebih terlokalisir.

peta transhipment di dunia

Lokasi rendezvous – titik ‘potensial’ () dan titik ‘patut diduga sudah/biasa terjadi’ ()

Guna menyensus populasi reefers, GFW menganalisis 20 miliar pesan AIS selama 2012–2016 dari seluruh dunia—700-an teridentifikasi—dari mana pergerakan ‘kapal-kapal kulkas’ itu lalu dilacak dan dibuat model footprint-nya. Jadi alih-alih posisi statis pada saat ttt, 86.000-an titik merah-biru pada peta di atas adalah ‘jejak dinamis’ ratusan reefers tsb selama sekian tahun (=reefer berlama-lama di satu titik, =reefer dan kapal kecil terdeteksi sama-sama ngetem).

:Klarifikasi: Tidak semua reefers itu bandit ikan (ada yang bawanya buah atau bawa ikan tetapi tidak suka nyuri, mis) dan tidak semua ‘ketemuan di laut’ itu transhipment (cuma isi BBM atau salah satu kapal sedang ada armada kapal illegal fishing leelawadee masalah, mis). Tetapi karena spot-spot yang potensial untuk dijadikan titik kencan sekarang sudah terpetakan, ‘mata antariksa’ jadi tahu ke mana tatapan mesti menuju. Sehingga kalau ada indikasi ‘hubungan ilegal’ (indikator: kecepatan, jarak dan durasi kumpul), ya tinggal zoom. [Gambar] Terlihat di timur Afrika tahun 2016—sebuah reefer sedang ‘memeluk’ dua kapal kecil sekaligus. Hobi pesta ikan di Indonesia tahun 2015, si kapal besar—tak lain tak bukan—adalah Leelawadee (lihat ‘peta kabur’). Kalau ini jelas bandit!

INTERMESO : MATEMATIKA KEBAHAGIAAN ALA MAFIA

Diketahui: kapal asing (pencuri ikan laut kita) yang harganya rata-rata Rp 10 miliar dilelang dengan harga Rp 1 miliar, dan taksiran nilai ikan yang dicuri sekali jalan adalah Rp 3 miliar.
Ditanya: berapa anak nakal yang tertawa?
Jawab: semua. (Olah bahan dari sini)

PARADIGMA

Dikenal sebagai sosok yang telah ‘menewaskan’ 500-an kapal asing pencuri ikan dan membuat 10.000 ‘kapal penculik’ lainnya merat cari selamat, banyak orang sepertinya kurang menyadari kalau dengan caranya sendiri Susi sejatinya adalah juga seorang pendekar lingkungan. Coba:
dalam satu rit (1x jalan p.p.), satu kapal saja itu kira-kira bisa bawa kabur berapa ekor ikan ya?

EKSTRA-2

Komoditas Insan di Bisnis Ikan, Empat Detektif & sang Hulubalang

Human trafficking, kerja dengan ikatan hutang, penahanan paspor [buruh/pekerja migran] dan pembantu [RT] yang dikondisikan tak bisa keluar rumah adalah beberapa bentuk/indikasi dari perbudakan modern—termasuk mereka yang kena tipu seperti pada contoh modus di atas.

Perbudakan : ada demand, ada supply

Kondisi lama jauh dari siapa-siapa (dan tak bisa ke mana-mana) membuat para budak rentan perlakuan semena-mena (meski beda kasus, situasinya lumayan bisa diperbandingkan dengan ART wanita yang bekerja di negeri yang masih punya ‘tradisi budak’ kuat macam Arab Saudi).

Kendati secara resmi telah dilarang di seluruh dunia, bisa dibilang perbudakan masih saja ada di mana-mana—dalam satu atau lain bentuk, termasuk di negara maju. [Mafia ikan] Thailand ada diulas selain karena sesuai topik juga karena mereka terbukti punya cokolan di Indonesia.

Menurut IOM (International Organization for Migration), banyak nelayan migran di kapal ikan Thailand yang terus di laut selama lebih dari setahun, bekerja hingga 20 jam dalam sehari, tidak menerima upah dan justru mendapatkan ancaman atau bahkan siksaan fisik.

[Akal-akalan ala mafia ikan Thailand] Oleh calo, para migran dijual kepada pemilik kapal—yang lalu mencatat itu sebagai ‘biaya admisi’ yang harus sudah dilunasi sebelum gajian. Jadi mereka lama kerja tanpa upah itu ceritanya sebagai cicilan bayar hutang kepada pemilik kapal. (WTF!)

Dari survei tahun 2009, UNIAP (United Natons Inter-Agency Project on Human Trafficking) menyingkap bahwa 29 dari 49 nelayan migran kapal Thailand yang disurvei mengaku pernah menyaksikan pembunuhan terhadap nelayan migran lainnya oleh kapten/awak kapal senior.

Illegal fishing tidak asing dengan perbudakan

Dalam suatu jurnalisme investigasi (investigative journalism) 18 bulan, AP (Associated Press) menyelidiki dari mana ikan/hasil laut murah yang banyak beredar di Amerika Serikat berasal.

Awalnya, analisis data dan info narasumber membawa AP ke sebuah pulau kecil di Kep. Aru, Indonesia, di mana tim menemukan banyak budak-migran [kapal ikan] dalam keadaan yang amat mengenaskan (bahkan ada yang dikerangkeng)—yang dikenal sebagai ‘kasus Benjina’.

Via pelacakan satelit, reefer yang membawa ikan hasil transhipment budak Benjina terpantau setop di suatu dermaga di Thailand, dari mana—kali ini lewat pengintaian lapangan/langsung ala James Bond, muatan diangkut truk ke pabrik—campur dengan hasil laut dari tempat lain (sehingga tak lagi bisa dibedakan mana yang hasil keringat/nyawa budak, mana yang bukan).

Dan dari penelusuran register ekspor-impor di AS (di mana catatan begini bisa diakses publik) serta penggalian informasi dari pihak terkait dalam jalur distribusi, terkuaklah rantai suplai (supply chain) ikan dari Asia Tenggara ke AS—rumah tangga, hotel, restoran, sekolah, hingga nama-nama beken seperti Walmart dan Nestle—bahkan kucing(!) pun, semua ikut menikmati.

🆎 Thailand
Laundry ikan – yang legal (A) dan yang ilegal (B)
dikumpulkan dan dijadikan satu terlebih dahulu,
lalu baru disebar (diekspor) ke AS/Eropa/Inggris.

Tidak semua ikan hasil tangkapan budak migran di Benjina dibawa ke Thailand. Ada yang oleh perusahaan di Ambon langsung diekspor ke Jepang atau AS, dan tentu ada pula yang diserap untuk konsumsi/pasar lokal. (Eh, produk kalengan yang di toko itu ikannya dari mana ya?)

Dari segi bagaimana sebuah organized crime melakukan fish laundering atas hasil laut yang mereka kuasai, terang ada yang menarik di sini. Kalau di Thailand butuh jalan panjang berliku untuk menyulap ‘ikan kriminal’ jadi ‘ikan baik-baik’, akan lucu jika di Indonesia cukup dengan membayar biaya sertifikasi maka ikan yang DIPEROLEH DENGAN CARA JAHAT penuh muslihat ini bisa tiba-tiba jadi ‘halal’ hanya gara-gara TIDAK MENGANDUNG BABI. (Lha kok enak betul?!)

Laporan AP selengkapnya bisa dilihat di tautan referensi di atas (dalam reportase 14 judul dan galeri 33 foto). Liputan terkait dari media lokal/dalam bahasa Indonesia a.l. bisa dicek di sini:

“Empat Raja Kapal Siluman” (Tempo)
“Menteri Susi Ungkap Pemilik Kapal Pencuri Ikan Asal Thailand” (Detik)
“Nelayan Jadi Gagah di Tengah-tengah Kapal Asing” (Kompas)
“Pencurian Ikan Melibatkan Mantan Pejabat” (Kompas)
“Polri: Kematian Yoseph Tak Pengaruhi Penyelidikan Benjina” (Tempo)
“Susi: Ide Lelang Kapal Pencuri Ikan Berasal dari Oknum” (Kompas)

Dengan kian menghilangnya kapal-ikan asing (karena moratorium dan takut ditenggelamkan), banyak budak yang ditinggal pergi begitu saja di sekian ‘titik konsentrasi’ jadi putus hubungan dengan dunia luar. Untungnya, investigasi AP membuat keberadaan mereka diketahui, yang lalu direspons cepat oleh pemerintah Indonesia sehingga 2.000-an budak bisa diselamatkan. (Terjadi tahun 2015, ini bukan angka penyelamatan-budak yang kecil dalam sejarah modern)

Burmese slaves in Benjina Indonesia

Terbebaskan dan ingin pulang – korban human trafficking di Benjina, Kep. Aru (2015)

Sedikit banyak, ketidaktahuan dan ketidakpedulian konsumen (akan dari mana suatu ‘produk’ berasal/dengan cara bagaimana itu dihasilkan) ikut memberi ruang bagi adanya perbudakan. Di negara-negara seperti AS atau Indonesia, awareness masyarakat [mungkin] adalah koentji.

“I think what we intended to do from the beginning was to...bring as much attention to the issue as possible, and that was the reason for linking it to the American dinner table.”
“Governments can put pressure on Thailand, human rights group can put pressure on them, labor rights organizations, but it’s not until the American companies or consumers start demanding change that you start to see change.”
(seorang anggota tim AP, di sini)

Dalam edisi 2019 TIP Report (Trafficking in Persons Report)—anual rilisan pemerintah federal Amerika Serikat untuk memonitor/memerangi human trafficking, Indonesia beserta Thailand sama-sama menempati Tier 2. Tidak bagus, tetapi masih mendingan daripada Tier 2 Watchlist (seperti Irak atau Malaysia). Dan kelas terburuk adalah Tier 3 (seperti Suriah atau Arab Saudi).

Ada yang cenderung luput terekspos dari kasus Benjina, yaitu karakter jurnalis-[me]-nya. Punya BERITA eksklusif nan eksplosif, alih-alih bikin stop press tim AP justru cari jalur ke otoritas Indonesia yang bersih (bukan yang antek mafia) untuk operasi penyelamatan (sebab jika urusan ini meledak aparat belum siap, akibatnya bisa sangat buruk bagi para budak—yang bisa dihabisi guna menghilangkan bukti atau sebagai sasaran kekalapan).

Komit menahan berita demi tanggung jawab kemanusiaan(!)

Cuma jurnalis mumpuni dengan integritas tinggi mampu melakukan ini (a.l. dengan resiko hasil kerja keras tim diserobot orang jika kasus bocor terlalu cepat—dan pasti bakal bocor!).

Suatu laku yang rasanya sulit ditemui dalam ingar-bingar ‘jurnalisme ember‘ dewasa ini, yang gemar adu lebay mengheboh-hebohkan ISU/TOPIK dalam ‘ketidakpekaan jurnalistik(journalistic insensitivity) serta bersikap EGP (emang gue pikirin) terhadap hak/situasi dari subjek berita (contoh gres adalah liputan tolol area tinggal pasien corona dengan masker yang demonstratif/provokatif dari si reporter TV kemarin itu)—mengorbankan substansi (bahkan kemaslahatan publik) demi motif self-interest nan superfisial (ratings/views dst).

Dan adalah menarik bahwa Martha Mendoza, Robin McDowell, Esther Htusan serta Margie Mason—malaikat penolong yang telah membongkar ‘sarang penyamun’ itu, semuanya wanita.

empat srikandi detektif

Tim APmemberdayakan dan peduli, sebuah teladan dalam jurnalisme

Kalau plus ‘si Ibuk’—pucuk punggawa KKP Indonesia saat itu, jadilah ini ‘Srikandi Lima’, yang dengan dedikasi di bidang masing-masing sudah memberi bogem mentah amat keras kepada para bajingan pelaku/penyokong/pelindung perbudakan—suatu kejahatan atas kemanusiaan.

(Juga seputar ‘kepekaan dalam jurnalisme’, bisa lihat di sini)

Kalau kita jadi mafia, mungkin akan sadis begini cara berpikirnya (dua poin contoh saja):

1) Secara ‘akuntansi’, budak bisa dimasukkan ke pos ‘perlengkapan’ (supplies), –sedangkan–
2) sebagai faktor produksi, [tenaga] budak tentunya lebih murah daripada tenaga kerja biasa.

Bahwa budak berpeluang diperlakukan lebih SEPERTI supplies daripada SEBAGAI manusia (habis manis/pakai sepah dibuang, ala oli mesin kendaraan bermotor), bisa ditarik dari ini:

The slaves interviewed by the AP had no idea where the fish they caught was headed. They knew only that it was so valuable, they were not allowed to eat it.
...
“If Americans and Europeans are eating this fish, they should remember us,” said Hlaing Min, 30, a runaway slave from Benjina. “There must be a mountain of bones under the sea. … The bones of the people could be an island, it’s that many.”


(Dari “AP Investigation: Slaves may have caught the fish you bought”, 25 Maret 2015)

Cuma Tuhan yang tahu persis curhatan itu perlu dimaknai secara harfiah atau tidak. Tetapi karena illegal fishing sudah lama akrab dengan perbudakan, adalah logis memperkirakan jika death toll ‘buang oli’ di laut punya angka yang besar (apalagi kalau untuk skala dunia).

kuburan thailand burma di benjina

Kuburan di Benjina – korban tewas dengan identitas palsu

Di darat atau di laut, cuma orang-orang ‘sakit’ yang tega melakukan semua kejahatan itu. Toh, yang begituan pasti cuma kroco. [Para] boss yang sebenarnya tidak akan mengotori tangan kerja lapangan, apalagi sampai kontak dengan budak segala. Terlalu nggak level.

Ada di mana-mana (Indonesia/Thailand/AS dsb), ‘the dedengkots’ punya banyak koneksi orang penting (atau illegal fishing akan sudah lama tumpas). Jenis siluman top-markotop seperti inilah yang a.l. mesti (dan sudah) dihadapi Susi selama lima tahun. SETIAP HARI.

Jadi jelas, kenapa langka ada orang mau pasang badan berkelahi lawan mafia—ikan pula.

Bermanfaat bagi sesama itu memang Tantangan—bagi laki-laki, juga bagi perempuan.

Untuk Susi Pudjiastuti,
pejuang kemanusiaan

Terima kasih ya, Buk!

—KK—

18 thoughts on “illegal fishing

  1. Sayangnya Bu Susi sudah tidak jadi menteri kelautan lagi ya, digantikan oleh orang partai yang lebih mementingkan kelompoknya buat amunisi di 2024 😦

    Sempat mau ekspor benih lobster segala, untuk mengatasi penyelundupan katanya (Jadi biar orang tidak menyelundupkan narkoba, dilegalkan saja sekalian, gitu?) Haha..! Bagusnya sudah dijewer oleh Presiden, jadi terus batal. Dari panutan yang berwibawa (di era si Ibuk), KKP berubah jadi pusat olok-olok. Susah untuk menuntut mutu dari orang partai. 🙂

  2. Untung saya baca postingan ini. Kalau enggak pasti nggak pernah tahu sama kasus Benjina. Mungkin saya juga yang luput baca di koran daring. Tapi, ya, kok kasusnya kayak ketutupan sama dagelan-dagelan kekuasaan itu….

    Terima kasih morishige. Kita sering dengar ada banyak mafia—migas, tambang, ikan dll (juga media, mungkin?)—yang konon satu sama lain nggak terpisah-terpisah amat. Kalau itu benar, antar-sesama mafia pasti tahu ‘kartu mati’ masing-masing. 🙂

  3. Wow! apa yang bisa dilakukan orang awam untuk membantu dalam hal ini?

    The least we [common people] can do is to share the awareness, I guess. (Like, sharing the ‘Associated Press’ link “Seafood from Slaves” above).

    PS: Wow, you sure have surprised me with your [excellent] Indonesian comment! 🙂 Thanks a lot Audra. Much appreciated. 🍸

  4. Terima kasih. selalu ada kemampuan untuk menjadi banyak akal di dunia yang penuh dengan sumber daya. hanya masalah mengetahui ke mana harus mencari, dan kepada siapa harus bertanya, pertanyaan yang sesuai.
    pasti akan melakukannya. Terima kasih lagi. dan, google juga. itu hanyalah proses lain dalam proses itu. 😊 sama-sama

    Good point, Audra. And yes, the big guy (Google) translator does help. When I started using the Net in the early 90’s, it never crossed my mind that someday I would read articles written in Russian or Hindi (or just about whatever) with considerable ease. 🙂 Thanks again. Take care. 🍸

    • salam, percaya pesan ini menemukan Anda dengan baik dan dalam semangat yang baik. hanya pesan untuk mengatakan, bahwa, setelah beberapa pemikiran, telah diputuskan untuk tidak berbagi cerita AP, dari makanan laut ke perbudakan. alasan saya adalah karena cerita itu ditulis pada tahun 2016, AP bukan sumber tepercaya dalam kenyataan saya, dan mungkin Anda harus mempertimbangkan untuk menambahkan tombol reblog ke posting Anda. terima kasih telah mengkonfirmasi bahwa saya terlihat, bahkan dari luar angkasa.

      ahhh, internet in the 90’s.. yes, I remember AOL and ICQ. why would you imagine that though? it’s communication. daddy was an engineer and mama worked at att with computers the size of rooms in the 70’s.. i would watch ‘weather balloons’ being lifted up into the sky.

      Salam, Audra. The case is real. And it happened in my backyard. I bring it up here (with all those details) because illegal fishing—as well as modern slavery, is still all around us.

      Good thing we now have satellites. 🙂

  5. Ah, semakin tercerahkan saya. Semoga suatu saat blog ini juga mengupas kalimat “Mutatis-mutandis” yang sampai kini masih mbuat saya bingung…

    Terima kasih Mas Sukman Ayo Dolan. Mungkin ini akan terdengar rada aneh, tapi faktanya adalah, thd semua istilah yang jadi judul (entri kamus) di sini, saya punya ‘sejarah personal’—meski sisi pengalamannya itu sendiri tak selalu saya sampaikan (bisa lihat di ‘Tentang Blog Ini’). Dan sejauh ingat, saya belum ‘punya cerita’ dengan si MM. Jadi mohon maaf. Tapi ya ini kondisi sekarang, entah kalau nanti.. 🙂

  6. Halo, Kak. Artikelnya bagus sekali. Saya mendapatkan ilmu dan wawasan baru setelah membaca tulisan ini. And yes, I am a fan of, Bu Susi. Sedih banget ketika beliau tidak menjabat lagi sebagai menteri.

    Halo, Dok! 🙂 Hebat memang mantan Menteri KKP ini—lima tahun mengabdi jadi warrior di lapangan yang super-keras, bikin mafia babak belur sekaligus jadi salah satu faktor yang bikin topeng sekian raja siluman jadi terbuka (yang sebelumnya dianggap tidak mungkin), dan setelah itu si Ibuk tetap baik-baik saja (Syukurlah).

    Terima kasih. Semoga Era juga baik-baik selalu di sana. 🍸

  7. I’ve been thinking more of something author Robin Wall Kimmerer says: “Be accountable as the one who comes asking for life.” Apropo in the ways we all consume globally these days.

    Just check some of her words, and I especially love these two:

    Balance is not a passive resting place – it takes work,
    balancing the giving and the taking, the raking out and the putting in.

    With words at your disposal, you can see more clearly.
    Finding the words is another step in learning to see.

    Many thanks for your introducing her to me. 🍸

  8. Menyimak tanpa mingser, terpesona dengan teba isi yang nggegirisi.
    Jangan curi isi laut kami…., matur nuwun Mas KuKa.

    Matur nuwun Bu Prih. Jadi teringat, ‘mingser’ saya temui pertama kali diucapkan oleh Jaka Tuak—pendekar tukang minum (tapi baik hati) di komik silat Indonesia tahun 70-an karya Henky, sedangkan tembung yang Bu Prih sebut itu dari cerita karya SH Mintardja (Mangke ada yang mau saya tanya di blog Wiji nggih)

  9. saat-saat sekarang jadi kangen Bu Susi.. fenomenal bgt.. kami rindu penenggelaman kapal2 asing ilegal..

    -Traveler Paruh Waktu

    Kangen buanget!! Mudah-mudahan ke depannya para bandit bukannya malah di-‘puk-puk’.. (sama bandit juga) :mrgreen:

  10. the battle of the seas

    which China is trying hard to take over

    They sure have a considerable share of the world’s fishing activities, don’t they? (Legal or otherwise) 🙂

  11. I alteady saw a film about this kind of modern fishing slavery last year in German television, unbelievable conditions and a threat of modern civilization!

    A day-to-day horror happening around us indeed. All the more so that some of the fish might end up on our dinner table—at home or wherever else. There’s still a long way to go concerning this kind of slavery—a crime against humanity.

    Thanks for your coming by. Much appreciated.

  12. Amazing post, I cannot beleive that this can happend in the XXI century. I did not know anything about the Thai slave fishermen, I find it incredible¡¡¡

    Thank you very much VPM. Modern slavery is a true sad story about Us indeed. Good thing that more and more nations have taken this more seriously.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.