( senam literasi #1/3, + download YouTube )
Dalam dunia perfilman, teks (Inggris: subtitles/captions) adalah istilah untuk tulisan di layar yang secara umum berfungsi sebagai ‘jembatan bahasa’. Contohnya bisa kita lihat pada video [yang rasanya layak jadi mata pelajaran wajib bagi para calon stand-up comedian] berikut ini:
Sebagai makhluk beradab (punya etika dan kepekaan sosial), manusia jelas perlu eufemisme. Toh, ‘ujaran halus’ yang kelewat masif (penggunaannya berlebihan) serta terlalu mengada-ada (‘istilah santunnya’ justru seperti mengingkari kenyataan) tidak saja akan mengaburkan makna tetapi juga amat berpotensi meninabobokan kepedulian—sebuah karakteristik kemanusiaan.
Tangkas, bernas, cerdas—bahkan mampu menyodorkan yang vulgar dan saru secara elegan, begitulah George Carlin dalam tour de force kocaknya yang kuat akan refleksi keseharian ini.
Butuh teks? Klik saja tombol cc . Dan kita bisa lebih serius dalam terbahak-bahak.
Closed vs open subtitles
Sudah jadi bagian dari industri, selain ditujukan bagi khalayak luas (penonton film di bioskop) subtitles juga diperuntukkan bagi audiens kecil/terbatas/spesifik (pemirsa TV/video di rumah). Dan karena jika di rumah orang biasa pegang remote (punya kontrol), lalu lahir pula istilah ini:
● Closed captions → teks yang untuk melihatnya perlu ‘dibuka’ terlebih dahulu (pakai remote)
● Open captions → teks yang kondisinya ‘terbuka’ (on) terus-menerus (tidak bisa di-off-kan)
Itulah kenapa teks (subtitles) pada video George Carlin di atas disebut pula closed captions (cc) sedangkan teks pada salah satu program di sebuah ‘TV cyber’ ini adalah contoh open captions.
Ada sejumlah ‘bilik’ di Cokro TV (dengan sederet kuncen seperti Denny Siregar, Ade Armando dan Eko Kuntadhi—yang selain renyah-edukatif juga acap tajam jika mengulas aktor di balik ‘isu-isu semprul’), namun tak semua episodenya disertai open subtitles seperti serial Syafiq tsb.
Sematan teks ala ‘Catatan Syafiq’ yang sama dengan bahasa videonya (bukan terjemahan) ini punya cerita sendiri—yang baru akan kita bahas pada bagian terakhir dari seri tiga tulisan ini.
Apapun, open atau closed captions/subtitles, kita punya istilah tunggal—’teks’.
Download video-subtitles YouTube
Ada banyak trik untuk meraup ‘harta karun’ (jangan yang sampah) dari YouTube. Jika Pembaca butuhnya cuma sesekali, mungkin enak pakai cara berikut (ambil contoh video George Carlin).
Untuk mengunduh videonya, sisipkan ‘pp’ pada link yang dimau: (Klik saja)
https://www.youtubepp.com/watch?v=vuEQixrBKCc
Untuk mengunduh teksnya, sisipkan ‘subtitle.to/’ pada tautan ybs: (Klik lagi)
https://www.subtitle.to/youtube.com/watch?v=vuEQixrBKCc
Untuk menjodohkan keduanya, beri nama pengenal yang serupa. Misalnya:
George Carlin – Eufemisme.MP4 (untuk nama file videonya)
George Carlin – Eufemisme.SRT (untuk nama file teksnya)
Sekarang setiap kali videonya disetel, teksnya akan otomatis ikut tayang.
Bukan cuma soal kenal huruf
Jika orang buta huruf tiba-tiba bisa baca koran, suatu dunia baru jadi terbuka baginya. Sumber informasi yang semula ‘ada di dunia lain’ jadi terakses. Ia jadi ‘melek’ (literate) akan banyak hal.
Literasi (kemampuan mengolah informasi)
adalah
gerbang wawasan (cakrawala pemahaman)
Artinya agar tidak picik atau berpandangan sempit orang perlu kaya akan referensi (sehingga tidak secara konyol ngeyel menjawab problem matematika dengan ilmu sastra—atau ngotot mengatasi masalah ekonomi dengan dalil agama—sebab tahunya ya cuma itu tok, misalnya). Dan peluang untuk ini sungguh dimudahkan oleh adanya ‘teks’ atau subtitles—yang sanggup:
menyulap orang jadi bisa paham informasi
meski itu hadir
dalam bahasa yang tidak mereka kuasai(!)
Selama puluhan tahun, penonton [film asing] di bioskop sudah membuktikan itu. 🙂
*****
(Juga tentang olah-informasi → ‘fallacy‘ / ‘lateral puzzle‘ / ‘garis tanggal internasional‘)
———————————
SEPUTAR TOPIK
Istilah ‘caption’ kadang lain arti dengan ‘subtitle’. Artikel ini tidak melakukan pembedaan itu.
Jika nonton di YouTube, pilihan bahasa-teks bisa diakses lewat ‘Setting’ (ikon di sebelah CC ).
Hasil dari olah-kerja ‘mesin’ (artificial intelligence) dengan teknologi pengenalan suara/ucapan, teks auto-generated dikenal suka ngaco (yang George Carlin itu kebilang lumayan)—dan teks auto-translated lebih parah lagi (kini kaco-nya bukan cuma soal kata tetapi juga sintaksis dll).
Jika mengunduh teks lewat Downsub (dengan trik ‘subtitle.to/’ yang di atas itu), kita tinggal scroll down untuk memilih bahasa/teks (bisa unduh banyak sekaligus) → [Gambar kanan]
Tidak semua hal mudah/bisa dialihbahasakan—contoh konkrit adalah aksi George Carlin di atas itu (yang akan kehilangan ‘ruh’-nya kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau apalagi bahasa Jawa, misalnya).
Video YouTube yang dilengkapi dengan teks ada banyak sekali. Dari konten bergizi sampai beracun—semua ada. Tinggal kita yang perlu pandai-pandai cari dan pilih [sumber] nutrisi.
—KK—
Setelah membaca ini, semua subtitles film yang kutonton rasanya jadi tak sama lagi…
Terima kasih banyak Nina. Dahsyat sungguh memang potensi ‘makhluk’ satu ini. Semoga tidak bosan mengikuti lanjutan serialnya. 🙂
PS: Maaf kena pending, ID-nya beda soalnya.
Asyiik sarapan penuh gizi bersama artikel ini. Meski saya masih sebatas menikmati captions dari virtual tour Taman Nasional. Yang sering geregetan dengan teks lagu berbahasa Jawa, rancu antara a dengan o. Halah komen malah lari ke bahasa Jawa. Terima kasih Mas Kuka. Salam sehat
Tempo hari bersama Ibu dan Kakak saya nonton acara Didi Kempot di TV swasta. Bisa menikmati kebolehan sang ‘godfather’ karena di layar ada teksnya. Tapi sekali-sekali ngakak juga, lha wong ‘sakit/pedih’ (lara) dibilang ‘dua’ (loro) Hahaha
Jadi untuk kata ‘caption’ dan ‘subtitle’ ini padanan yang lazim digunakan baru ‘teks,’ KK? Masih kurang spesifik, sih, ya. Kita terpaksa mesti menambahkan epitet di belakangnya: teks yang di bawah gambar; teks di bawah foto. Melihat semakin lazimnya pemakaian kata caption dan subtitle dalam teks-teks populer di dunia maya, suatu saat ketika ini dibawa ke ranah yang lebih serius–makalah ilmiah, misalnya–barangkali akan merepotkan para penulis, KK. Syukur-syukur ada yang repot memikirkan untuk mencari padanananya dalam bahasa Indonesia. Kalau tidak, kita mesti mengucapkan selamat datang kepada banyak kata serapan baru. 😀
Omong-omong, video Carlin yang KK pajang di atas sangat menghibur. Hehehe….
Indonesia punya ‘kami/kita’, Inggris cuma punya ‘we’. Rasanya asyik juga kalau kebetulan ketemu kasus macam ini. Tetapi karena baru seumur jagung (artikel ‘tailor-made’), bahasa kita tentu punya banyak PR (soal amunisi kosakata dan keterampilan penggunanya, mis).
Dulu ada FIGUR seperti Anton M. Moeliono (yang menggali/memopulerkan kata ‘canggih’ sebagai padanan ‘sophisticated’) atau J.S. Badudu (yang mampu menjelaskan kasus linguistik dalam bahasa yang mudah dipahami awam). Karena SUKA, meski masih bocah/remaja saya selalu berusaha nonton kalau mereka tampil di TV (di mana ada slot khusus untuk bahasa Indonesia). Itu dulu. Kalau sekarang? Baik soal figur (guru) maupun minat (generasi muda) saya sungguh tidak tahu.
Sempat kebayang ada semacam komisi (lembaga nonstruktural, karena kasihan kalau soal peristilahan dll seperti ini dibebankan ke pemerintah/kemdikbud) yang khusus ngurusi ‘bahasa’. Tapi melihat kualitas sebagian komisi yang ada sekarang (yang notabene jumlahnya sudah belasan), ini mungkin cuma ibarat pasang keran bocor baru (anggaran besar lagi, dengan manfaat tidak jelas/kontra-produktif).
Jadi akur seperti morishige bilang, ini problem serius.
Selain aspek teknis dan substansi, saya suka sekali cara Carlin mengajak audiens (termasuk secara tidak langsung kita yang nonton di YT) untuk menertawakan diri sendiri—yang sudah seperti mabuk/sakauw eufemisme (misalnya saat “Prrrrtt!” sambil kasih gesture yang bisa dimaknai ‘We are all wankers” itu) 🙂
Saya jadi inget tempo hari nonton bajakan anime yang teksnya kebetulan cuma bahasa Indonesia. Entah karena cuek atau bagaimana, penerjemahnya main pukul rata saja mengartikan “we” sebagai “kami” tanpa memedulikan konteksnya, inklusif (kita) atau eksklusif (kami). Saya takkan pernah paham alasannya. Tapi saya rasa ada hubungannya dengan kecuekan kita terhadap penggunaan bahasa. Kalau kita peduli sedikit dan menyadari bahwa setiap bahasa punya logikanya masing-masing, pasti kita takkan seserampangan itu menerjemahkan.
Tapi di sisi lain saya sadar juga bahwa budaya itu dinamis, KK. Mungkin memang peradaban ini sedang mengarah ke suatu bentuk yang beda dari sekarang, termasuk dalam penggunaan bahasa. Saya takkan heran kalau 20-30 tahun lagi bahasa di jurnal ilmiah di sini bakal terasa berantakan dibanding sekarang, dan itu benar di konteks zaman itu.
Ah, jadi meracau…. 😀
Soal kelangsungan sebuah bahasa, akur banget, kalau tidak mau mati/sekarat (kehilangan/ditinggalkan petuturnya), sebuah bahasa perlu ‘berproses’ (for better or worse). Dan ini tentu tergantung faktor [kolektif] manusianya juga.
EKSTERNAL/MANFAAT. Konteks global/antar-generasi, saya mbayanginnya mereka yang punya kontribusi besar terhadap peradaban dunia (dalam bidang teknologi/ekonomi/seni dll) juga akan punya suara signifikan (langsung/tidk langsung) dalam menentukan perkembangan bahasa-bahasa di dunia. Amrik dengan segala jargon IT/komputer/internetnya itu, misalnya—dan negeri-negeri yang kontribusi peradabannya minim/tidak jelas (hobinya make/beli/ngekor doang, tidak mencipta/berinovasi) cuma bisa terseok-seok cari padanan istilah atau comot mentah-mentah (masalahnya adalah: susah-payah kita dapat satu padanan, dari sana sudah muncul lagi dua-tiga istilah baru) 🙂
INTERNAL/SIKAP. Soal ‘kebanggaan’/’rasa memiliki’. Ada bahasa yang seiring umur semakin berkarakter, tetapi ada pula yang [jika tidak lekas tanggap] semakin kehilangan jatidiri/identitas. Elaborasinya..
Yestervid – How far back in time could
you go and still understand English?
Meski sama-sama bahasa Inggris, versi kini jelas beda banget dengan yang versi jadul. Toh, saya masih bisa mengenali ‘rasa Inggrisnya’ (katakanlah begitu). Dan ini amat boleh jadi a.l. karena ORANG Inggris sendiri bangga akan bahasa mereka. Membuka pintu terhadap kata serapan/comotan untuk memperkaya khazanah (BUKAN untuk menggantikan istilah Inggris yang sudah ada), mereka konsisten dengan keinggrisan mereka (dalam berbahasa, mereka TIDAK merasa harus keasing-asingan sekadar agar bisa lebih eksis, mis). Ini misalnya tercermin dari sapaan sosial/ungkapan sederhana (good morning/bye/thank God), pemberian nama (bayi/toko/komplek perumahan) dll—beda dengan kita yang nama jalannya pun sudah banyak pakai kata ‘boulevard’ atau (mungkin ini yang paling parah) sebagian bahkan percaya jika Tuhan ngefans sama bahasa tertentu sehingga kode korupsinya pun pakai bahasa Arab. (Hopo tumon?!)
Kalau Morishige merasa sudah meracau, maka reply saya ini harus dianggap sebagai lebih menceracau lagi Hahaha
Saya baru tahu makna closed captions dan open captions lewat sini, thanks informasinya! Tapi jadi kepikiran, sepertinya istilahnya tidak…konsisten?
● Open captions → terus terbuka > always open
● Closed captions → perlu dibuka, bisa ditutup > able to be close instead of always closed.
Dan rasanya istilah ‘open’ terkesan lebih terbuka untuk interpretasi versi lain sehingga saya kira OC justru yang bisa diubah-ubdah, dan closed lebih saklek haha
Iya juga sih ya. Tane ada benarnya—yang ‘closed’ kok malah lebih fleksibel (akomodatif terhadap situasi) sedangkan yang ‘open’ malah kaku (tidak peduli situasi/kebutuhan). Ini kan secara ‘rasa’ jadi gimana gitu..
Eh tapi mungkin kasusnya memang rada repot ding.. Karena kalau dibalik, jadinya nanti malah seperti kena ‘sekak-seter’ (istilah catur: begini salah, begitu salah).
Maksud saya, kalau istilah OPEN kita peruntukkan sebagai ‘yang bisa dibuka/tutup’ (fleksibel), maka untuk arti CLOSED pilihannya tinggal ‘yang bisa ditutup/buka’ (dan ini jelas tidak bisa karena akan jadi identik dengan yang OPEN) atau ‘yang tertutup terus-menerus’ alias tidak bisa dibuka sama sekali (dan ini malah lebih ganjil lagi karena akan sama saja dengan video yang nggak ada teksnya Hahaha).
Bermanfaat ‘-‘ Salah fokus sama channel youtubenya, jadi mau nonton.
Terima kasih. Malah kebetulan kalau asyik dengan tayangannya Staphelton, di tiga episode tulisan ini kita acaranya ‘pesta youtube’ (dengan tipe video yang berbeda). Semoga cocok di selera. 🙂