( senam literasi, sisipan #2/2 )
Cinderella menoleh ke arah sumber suara. Celaka! Karena keasyikan, ia tadi jadi lupa waktu. Peri Baik Hati telah wanti-wanti: jika jam berbunyi dua belas kali, maka semua keajaiban akan berhenti—dan ia kembali menjadi gadis berpakaian lusuh yang sering tampak kurang mandi. Tanpa ayal Cinderella lari. Panik. Seperti dikejar tawon. Sampai-sampai sepatunya lepas satu..
Yang aneh dari kisah Cinderella tentu bukan karena ada labu bisa berubah jadi kereta kencana atau tikus jadi kuda/kusir (wong namanya juga dongeng), tetapi fakta bahwa secara cukup lucu orang seperti kompak untuk abai akan satu detail kunci yang sejatinya luar biasa mengganggu:
Kalau iya selewat tengah malam semua kembali ke wujud aslinya (efek sihirnya sirna),
kok [sampai si Cinderella nikah dan kisahnya tamat] tu sepatu kaca baik-baik saja ya?
‘Kasus Cinderella’ (yang sepatunya kelewat awet) tsb adalah sebuah contoh overlooking.
*****
Luput melihat sesuatu [yang sebenarnya bisa dengan mudah/jelas terlihat]

Overlooking the dompet – Ngiler oleh buah di seberang jalan, jadi tidak melihat dompet yang tergeletak dekat kaki (padahal di dalam banyak gambar Benjamin Franklin-nya, gitu). Arah pandangan/LOOK-nya bukan ‘at the dompet’ tetapi ‘OVER the dompet’—Lewat, deh!
Apapun, selain soal hoki, ‘melihat’ itu juga seni. Butuh naluri. Bisa dipelajari.
Seni Melihat
Bukanlah overlooking jika kita tak menyadari ada ular besar di balik punggung/tembok (sebab ya wajar orang tidak bisa melihat melalui belakang kepala/menembus tembok)—beda dengan kasus Cinderella (yang ‘ularnya’ demikian telanjang dan mondar-mandir terus di depan mata).
Tetapi kalau ‘rabun ular’ (tak awas bahaya/kejanggalan) yang berikut jelas overlooking..
Maraknya beragam modus penipuan [konyol] ‘penggandaan uang’ menunjukkan kalau orang masih suka ‘gagal melihat ularnya’—Kok malah kita yang setor/bukan dia yang bagi-bagi duit? (Klaim ‘cepat sukses/kaya’? Suruh saja ybs bikin kampus gratis/bayarin utang negara. Ye, kan?)
Juga kasus klasik ‘rabun dompet’ (tak awas peluang/potensi) yang satu ini..
Mereka yang bilang bahasa Inggris itu sukar pasti lupa akan kehebatan mereka sendiri—yang bahkan sebelum masuk TK pun sudah ‘jago bahasa’ (mampu menyatakan/menangkap maksud, meski baru secara simpel/belum canggih). Dan karena di seluruh dunia ceritanya sami mawon, itu artinya tak ada bahasa yang sulit—termasuk Rusia/China dll yang hurufnya ampun-bos itu. (Bahwa pada kenyataannya belajar itu sering tidak mudah/tidak efektif, itu adalah cerita lain)
Terjadi di negeri dongeng, sepatu problematik Ibunda Peri cuma contoh kasus senang-senang. Akan tetapi urusan tentu jadi lain kalau kasusnya terjadi di dunia nyata—apalagi jika berulang, sebab cenderung mengundang konsekuensi (pun dampak ruginya bisa sampai lintas generasi).
Kategori Kebandelan
Dengan beragamnya kasus yang bertebaran, mestinya ada banyak kategori yang bisa kita buat. Tetapi biar enak dan sesuai dengan kepentingan penulisan, kita akan klasifikasikan seperti ini..
Overlooking natural (nyantai aja)
Murni khilaf—secara kebetulan orang lengah akan sesuatu. Karena secara alamiah akal budi ybs masih sehat sentosa, ‘sembuhnya’ juga seketika—kalau diberi tahu langsung “Oh iya, ya!” (sadar tadi telah buta, lalu melek, dan untuk seterusnya akan ngeh). Macam kasus Cinderella.
Overlooking situasional (jangan keterusan)
Ketidakawasan tipikal saat orang sedang dikuasai situasi. Seperti orang yang sedang mabuk (mabuk miras/darat-laut-udara/kepayang/ketenaran/keberhasilan, mabok medsos/informasi).
Katalisator lain mis frustrasi (studi/ekonomi), iming-iming (bisa cepat kaya, nanti masuk surga) serta marah dan benci (itu kenapa hoaks politik/pemilu rajin menginjeksikan duo racun ini ke hati—agar orang kalap/muak/hilang peduli lalu kacau mengenali, mana pendekar mana ular).
Jelas repot bicara nalar sama orang mabuk. Tapi karena per definisi sifatnya cuma sementara (sedang mabuk dlsb itu), tilik ybs akan membaik seiring pulihnya kesadaran/redanya situasi. (Urusan jadi jauh lebih susah kalau ‘gila sesaat’-nya lalu berkepanjangan atau jadi kebiasaan)
Overlooking kultural (mulai eng..ing..eng..)
Overlooking yang terbentuk oleh ‘lingkungan’ (lingkungan sikap/perilaku/komunikasi/values dll alias tidak terbatas hanya kepada lingkungan fisik)—sehingga orang seperti terfasilitasi untuk jadi tidak awas terhadap hal-hal tertentu. Misalnya, mereka yang terbiasa hidup dengan kultur “nilai kemanusiaan (putri < putra)" umumnya luput melihat matematika sederhana berikut ini..
Meski bisa kaya raya—seperti karena kekayaan alamnya cuma dibagi kepada sedikit penduduk (bukan karena cerdas berinovasi), bangsa/negeri yang suka kurang memanusiakan wanitanya (potensi/hak-hak eksosbud bahkan identitas perempuan ditindas) bakal sulit jadi negara maju. (Sebab ibarat mesin, kerjanya cuma 50% kapasitas—ini kalau laki-lakinya pintar/beres semua)
Overlooking temurun (they have no idea what they’ve missed) nan lokek memberi ruang bagi aset seperti Marie Curie, Margaret Thatcher, Sri Mulyani atau Susi Susanti untuk berkontribusi. (Tak ada emas olimpiade bagi Indonesia tahun ini jika kita sampai jadi serabun dan setolol itu)
‘Peradaban’ itu tentang umat manusia
(bukan cuma salah satu jenis kelamin)
Karena sifatnya ‘mukim’ (dalam keseharian rabunnya sudah disikapi sebagai ‘standar normal’), menyadarkan orang dari overlooking jenis ini lazimnya butuh waktu lama. Juga upaya kolektif.
Overlooking doktrinal (jreng..jreng!!)
Overlooking yang tertanamkan oleh ‘ajaran’ (ideologi/agama/gagasan/semangat kelompok dll) —sehingga orang terkondisikan untuk jadi tidak awas terhadap hal-hal tertentu. Contohnya.. (Mari kembali sejenak ke masa-masa di bangku sekolah dulu, saat kita masih bocah dan lucu)
Pak/Bu Guru berkata...
Jelas, tidak ada anak yang sama. Maka wajar, kemampuan murid dalam menyerap pelajaran juga beragam—ada yang pandai menghadapi angka, ada yang jago olahraga, ada yang biasa-biasa saja tetapi banyak fansnya dsb (yang pontennya sama-sama 100 atau A semua pun bisa dipastikan pemahamannya tidak identik). Dan memang, tidak ada orang waras yang menuntut hasil rapor yang serupa untuk satu sekolahan. (Eh, ni kan anak kecil juga tau ya? Maap, hihi..)
Tuhan bersabda...
Jadi jika dalam memahami Pak/Bu Guru saja (dengan segala hormat, yang ilmunya terbatas itu) pemahaman kita sudah demikian beragam, mana pula kita bisa seragam—dari ujung ke ujung, dalam memahami Tuhan (yang ilmunya tak terbatas dan hanya bisa didekati dengan iman itu)?
Keberagaman pemahaman
adalah sebuah Keniscayaan
Gamblang sekali. Akan tetapi doktrin terbukti mampu membuat orang dewasa overlooking hal [yang anak kecil juga tau] itu—menuntut keidentikan pemahaman [soal Tuhan], jadi intoleran.
Dan itu jelas menyalahi Fitrah.
Karena ranahnya keyakinan (secara spirit rabunnya diyakini sebagai ‘pandangan kebenaran’), menyadarkan orang dari overlooking tipe ini acap kali tidak mudah. Sangat-amat-tidak-mudah.
Mengucapkan “Selamat pagi!” (disertai ibadah senyum dan anggukan) serta menghormati orang [yang lebih] tua adalah budaya, sedangkan Pancasila serta ‘Bhinneka Tunggal Ika’ adalah bagian dari doktrin nasionalisme NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Masalahnya memang, tidak semua budaya atau doktrin itu baik..
Budaya nyampah atau korupsi terang perlu diperbaiki atau bahkan dibasmi, sedangkan doktrin yang menanamkan gagasan ke benak orang jika seluruh planet beserta segenap makhluknya cuma pantas dikuasai oleh segelintir orang macam ‘Deutschland über alles’ (Nazi) atau ‘Khilafah’ (ISIS/HTI/FPI dst) terang perlu dilawan atau diobati sejak usia dini.
Dengan kata lain, secara umum kita bisa bilang..
Sesuatu yang pada dasarnya baik (budaya/nasionalisme/agama dsb), jika dimaknasikapi secara keliru, maka hasilnya ya cuma bikin masalah melulu—bikin banyak orang celaka. (Substansi/nilai luhur/ruh kearifannya lepas oleh pemahaman yang sempit/dangkal/naif)
Ideologi/agama dll adalah satu hal, [kewarasan] penganutnya adalah soal lain.
*****
Tak peduli usia/profesi/harta/status sosial/latar belakang pendidikan dll, tidak/kurang teliti itu manusiawi (kalau tidak pernah overlooking bukan manusia namanya). Namun seperti halnya lupa (yang juga manusiawi), kalau terlalu sering/jadi kebiasaan ya tidak baik juga. Paling tidak, sekian contoh [yang mudah-mudahan lumayan variatif] di atas rasanya cukup menunjukkan:
Jika terlalu populer (banyak yang ‘terjangkiti’) dan lestari (susah ‘diobati’),
overlooking dapat menghambat kemajuan negeri—atau lebih buruk lagi
Artinya, jika resiko jadi acuan, overlooking jelas bukan urusan yang cinderella-cinderella amat. Jadi sebetulnya aneh kalau soal ‘luput’ ini seperti tak pernah digubris orang, dan yang nge-hits malah ala ‘kesurupan berjamaah’—membanggakan kesalehan, garang terhadap Keniscayaan.
Mungkin itu indikasi, kalau kita bahkan sudah overlooking soal overlooking.
————————————
CATATAN
Meski tidak dengan menyebutkan istilahnya, bahasan di blog ini amat sering berkaitan dengan overlooking (misalnya artikel ‘Inggris’, ‘kompeni’, ‘tailor-made’, ‘fallacy’ serta ‘kambing Monty’).
OVERLOOKING THE DOMPET. Frasa bahasa tak keruan ini beserta gambarnya adalah sekadar ilustrasi fisik (bukan makna prinsipiel) yang dimaksudkan sebagai mnemonik. Harapannya: jika kelak lupa overlooking itu apa/bagaimana, rapalkan saja “Overlooking the dompet” maka gambarnya bakal tayang (dan sekian detail satu demi satu muncul dari kedalaman memori).
Ada sejumlah kriteria dalam menentukan apakah sebuah negara tergolong maju atau belum, dan beda lembaga bisa beda pula hasilnya. Bahasan pada artikel ini mengacu kepada kategori “Developed economies” dari WESP (World Economic Situation and Prospects) PBB tahun 2020 (data prapandemi)—di mana dari Asia cuma ada satu negara yang masuk daftar. (Cek di sini)
SUMBER SUARA/GAMBAR
● Clocks n’ More (dentang Westminster)
● Wpclipart (orang/dompet/pohon adalah tiga clipart berbeda yang diracik dalam satu frame)
EKSTRA
Melihat Yang Tak Kasatmata? Anak Kecil Juga Bisa!
Overlooking ala sepatu kaca dkk di atas menunjukkan bahwa alih-alih melulu soal fisik (mata), pada tingkat pemahaman ‘melihat’ lebih merupakan soal non-fisik (mental) yaitu ‘memaknai’.
Alias kalau dirumuskan (dalam bahasa yang rada-rada nyebelin)..
Memaknai itu melihat melampaui batasan-batasan ‘fisik’
‘Fisik’ di sini tentu saja maksudnya tidak sebatas ‘benda’ melainkan segala sesuatu yang dapat dilihat/dengar/raba dst (penampilan, bungkus, gaya, kabarnya, pengakuan self-proclaimed dll).
Contoh sehari-harinya..
Si Anu datang ke rumah (tumben), lalu dengan bersemangat memuji-muji kita (bilang suasana tempat kita menyenangkanlah, kita ini dikagumilah dll). Ujung-ujungnya, dia ingin pinjam duit.
Jangankan orang dewasa pada kasus seperti itu, fakta bahwa bahkan bocah pun bisa pagi-pagi curiga kalau dipuji berlebihan menyiratkan jika pada dasarnya (secara kodrati) orang mampu ‘melihat yang tak kasatmata’ (dalam kasus tsb: membaca niat, mengendus ketidakwajaran).
Suatu bekal siap asah yang amat berguna dalam memaknai berbagai hal atau peristiwa—dari bacaan (buku/koran), tontonan (TV/film), bunyi (musik/intonasi) sampai pengalaman pribadi.
Jadi biar awas, baiknya ingat selalu pusaka Eyang kita yang linuwih satu ini..
Kalau kita 1000x melihat buah jatuh, mungkin ya itulah yang akan terus kita lihat: buah jatuh. (Atau, karena mudah ‘terjebak fisik’, paling banter yang ada di otak cuma seputar ‘lezatnya’)
Beda dengan Mas Isaac, yang lalu bertanya-pikir: Kenapa? Kok selalu ke bawah (tidak ke atas atau ke samping melayang secara horizontal)? Isaac muda nan bijak waskita mengejar terus pertanyaan-pertanyaannya.. Lalu orang jadi melek/sadar akan gravitasi. Dunia mendapatkan cakrawala pemahaman baru. Peradaban umat manusia melesat, sampai menembus langit.. (Satelit, wahana ke Bulan/Mars dsb tidak bisa dibuat kalau orang tidak paham soal gravitasi)
Bukan dompet, Isaac Newton awas melihat Wasiat—yang kian hari kian jadi manfaat.
TERMINOLOGI
● bukan urusan yang cinderella-cinderella amat: bukan perkara yang bisa dianggap remeh
● linuwih (Jawa, kata sifat): mempunyai kelebihan jauh di atas rata-rata orang kebanyakan
● lokek: pelit/kikir yang kebangetan
● tilik: semacam ‘mata batin’ (mis untuk menelaah yang tak terdeteksi oleh lima ‘indra fisik’)
SIAPA TAHU NYAMBUNG
Soal overlooking ini ada banyak sekali kasus riilnya yang super sensitif, dan contoh pada artikel sengaja dipilihkan yang cuma sampai ‘level sedang’. Tapi jika itu pun sudah membuat Pembaca gundah, ‘Teman Setia’ (cek di sini) mungkin bisa barang sedikit membantu memantapkan hati.
Maaf, sudah tak sabar ingin ‘bahas sepatu’ bersama bocah tersayangkah (anak/adik/murid dll)? Tolong, pertimbangkan lagi. Sebagai orang dewasa, kita sudah terlalu sering mem-bully bocah, membuat anak kecil malu akan dunia mereka sendiri (misalnya dengan menjadikan lagu anak sebagai ‘materi jualan’—dari lomba komedi, ceramah bodong hingga ujaran kebencian). Meski lain motif, membuka ‘aib Cinderella’ bisa berefek serupa. Kita punya puluhan tahun untuk jadi dewasa, tetapi mereka cuma punya waktu sekejap untuk jadi anak-anak. Let them be. Please.
—KK—