minal ‘aidin . . .

Minal ‘Aidin wal Faizin
Mohon Maaf Lahir dan Batin

Kata-kata itu umum kita temui dalam rangka Hari Raya Idul Fitri—di kartu, email, SMS dsb (versi lisan/nonformalnya biasa lebih pendek seperti “Maaf lahir batin ya..” atau “Minal ‘aidin” saja). Sebuah ucapan yang cukup unik karena menghadirkan dua bahasa sekaligus—Indonesia dan Arab (yang sudah ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia), dalam satu paket.

Demikian seringnya keduanya dirangkaikan, sehingga kadang orang menganggap bahwa yang satu merupakan terjemahan dari yang lainnya. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian.

“Mohon maaf lahir dan batin” maksudnya jelas: sebuah ucapan permintaan maaf yang tulus (‘lahir dan batin’) yang disampaikan dengan penuh kerendahhatian (dipakainya kata ‘mohon’).

Sedangkan Minal ‘aidin wal faizin.. (lanjutannya)

ulama – fatwa

Rasanya semua tahu, istilah Arab (Islam) ulama berarti: mereka yang ahli dalam agama Islam. Ini tidak salah. Sebagai sebuah istilah, arti atau pengertian ulama memang seperti itu. Tetapi agar pemahamannya lebih utuh, tidak ada salahnya kita sedikit menggali lebih dalam kata ini dari aspek bahasa, yang pengertiannya agak berbeda—lebih luas.

*****

Kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim yang berarti ‘orang yang berilmu‘ (scholar, jika dalam bahasa Inggris). Sehingga secara harfiah, mereka yang jadi saksi ahli dalam persidangan misalnya, juga pantas disebut ulama meski keahlian mereka bukan dalam hal agama—tetapi kedokteran atau forensik, katakanlah (karena bagaimana mungkin mereka dimintai pendapat untuk perkara penting seperti sebuah pengadilan, jika tidak dianggap cukup berilmu?).

Dengan kata lain, alim-ulama adalah kaum cerdik-pandai. Hanya saja gelar ‘alim’ (atau ‘ulama’) didapat bukan melalui jalur ‘resmi’ (seperti sekolah dan kemudian mendapatkan ijazah), tetapi merupakan pengakuan informal masyarakat atas [bobot] keilmuan seseorang (sesuai bidang masing-masing). Sehingga para tabib atau ahli ilmu falak (astronomi) yang selama hidup tidak pernah duduk di bangku kuliah pun dapat disebut sebagai ulama jika memang masyarakat menilai mereka pantas disebut demikian (sekali lagi, ini jika ditinjau dari segi bahasa).

Berdasarkan ‘kewenangan keilmuan‘ yang dimilikinya, seorang ulama biasa memberikan atau dimintai pendapat. Pendapat ulama (lazim disebut dengan fatwa), meski bukan merupakan hukum, patutlah diperhatikan karena dikemukakan oleh mereka yang ahli di bidangnya.

Karena pendapat orang bisa berbeda.. (lanjutannya)

wakaf

Istilah tanah wakaf sudah tidak asing lagi. Tapi apa sih sebenarnya ‘wakaf’ itu sendiri? Dari bahasa Arab, istilah wakaf artinya ‘terhenti’—yaitu manfaat jual-belinya [sengaja] dihentikan dan digantikan [semata-mata] untuk amal kebajikan. Jadi jika seseorang mewakafkan tanahnya, berarti yang bersangkutan ‘menahan’ tanah tersebut (tidak diberikan, tidak pula diwariskan).

Dalam konsep wakaf, pada hakikatnya yang diberikan adalah manfaat dari suatu ‘barang’, tetapi bukan (tidak pernah) ‘fisik’ barangnya itu sendiri.

Selain untuk kepentingan orang banyak, tidak ada batasan spesifik tentang peruntukannya. Umumnya, tanah wakaf digunakan untuk keperluan yang relatif sederhana (tempat ibadah atau kuburan, misalnya), meski ada pula yang secara manajerial lebih rumit (misalnya sekolahan).

Karena si pemberi wakaf (juga semua orang) nantinya akan ajal, maka agar kepengurusannya langgeng lazim dibentuk semacam ‘dewan pengurus’ (artinya bukan hanya satu orang)—bisa dari keluarga pemberi wakaf atau orang luar. Perlu diperhatikan bahwa meski pemberi wakaf lazimnya adalah individu, penerima wakaf notabene adalah masyarakat (bukan individu).

Sifat wakaf adalah ‘terus-menerus‘, maka yang sah diwakafkan adalah sesuatu yang memiliki ‘ketahanan fisik’ yang relatif tetap (menyumbang hasil bumi atau sepeda motor bukan wakaf, tetapi sedekah). Jadi adalah tidak logis mewakafkan tanah yang terlalu dekat dengan laut atau berada di tepi jurang, karena ada ancaman tersapu ombak, terkikis, atau longsor—yang artinya tidak saja setiap saat tanah itu terancam ‘hilang’ (tidak langgeng), tetapi bahkan wajib dianggap terlalu berpeluang ‘membahayakan banyak orang’ (bertolak belakang dengan azas manfaat).

*****

—————————

Pustaka: “Pedoman Islam di Indonesia” (Hasbullah Bakry, UI-Press, 1988)

—KK—

Masya Allah(!)

Suatu hari seorang paruh baya melihat seorang muda mengalami penderitaan yang hebat namun tetap tabah dan tidak mengeluh. Sebagai ungkapan kekaguman, si orang tersebut berucap, “Masya Allah, Nak! Kau sungguh membuatku kagum. Semoga kesabaranmu dalam menjalani cobaan hidup akan membuatmu menjadi orang yang mulia di hadapan-Nya.”

Frasa Arab ini pengertiannya kira-kira: “Sesungguhnya semua ini adalah kehendak Tuhan jua” (dan jika Tuhan berkehendak, pasti terjadi). Di sini ucapan ‘Masya Allah’ sesuai situasinya karena mengandung: pengakuan terhadap Tuhan (Yang Maha Kehendak), kekaguman (artinya respons positif) atas dampak dari kehendak-Nya tersebut (ketabahan si orang muda), dan bahkan disertai doa (harapan baik yang dimohonkannya kepada Yang Maha Kuasa).

Pada saat itulah lewat orang ketiga (yang kebetulan tidak tahu arti ‘Masya Allah’). Orang ini, demi melihat betapa hebat penderitaan si orang muda, menyangka bahwa kata-kata tersebut adalah ‘ungkapan kekagetan saat menjumpai sesuatu yang jelek’ (sebuah respons negatif). Sejak saat itu, kesalahkaprahan penggunaan ‘Masya Allah’ sering terjadi di mana-mana.

Cerita di atas.. (lanjutannya)