Istilah tanah wakaf sudah tidak asing lagi. Tapi apa sih sebenarnya ‘wakaf’ itu sendiri? Dari bahasa Arab, istilah wakaf artinya ‘terhenti’—yaitu manfaat jual-belinya [sengaja] dihentikan dan digantikan [semata-mata] untuk amal kebajikan. Jadi jika seseorang mewakafkan tanahnya, berarti yang bersangkutan ‘menahan’ tanah tersebut (tidak diberikan, tidak pula diwariskan).
Dalam konsep wakaf, pada hakikatnya yang diberikan adalah manfaat dari suatu ‘barang’, tetapi bukan (tidak pernah) ‘fisik’ barangnya itu sendiri.
Selain untuk kepentingan orang banyak, tidak ada batasan spesifik tentang peruntukannya. Umumnya, tanah wakaf digunakan untuk keperluan yang relatif sederhana (tempat ibadah atau kuburan, misalnya), meski ada pula yang secara manajerial lebih rumit (misalnya sekolahan).
Karena si pemberi wakaf (juga semua orang) nantinya akan ajal, maka agar kepengurusannya langgeng lazim dibentuk semacam ‘dewan pengurus’ (artinya bukan hanya satu orang)—bisa dari keluarga pemberi wakaf atau orang luar. Perlu diperhatikan bahwa meski pemberi wakaf lazimnya adalah individu, penerima wakaf notabene adalah masyarakat (bukan individu).
Sifat wakaf adalah ‘terus-menerus‘, maka yang sah diwakafkan adalah sesuatu yang memiliki ‘ketahanan fisik’ yang relatif tetap (menyumbang hasil bumi atau sepeda motor bukan wakaf, tetapi sedekah). Jadi adalah tidak logis mewakafkan tanah yang terlalu dekat dengan laut atau berada di tepi jurang, karena ada ancaman tersapu ombak, terkikis, atau longsor—yang artinya tidak saja setiap saat tanah itu terancam ‘hilang’ (tidak langgeng), tetapi bahkan wajib dianggap terlalu berpeluang ‘membahayakan banyak orang’ (bertolak belakang dengan azas manfaat).
*****
—————————
Pustaka: “Pedoman Islam di Indonesia” (Hasbullah Bakry, UI-Press, 1988)
—KK—