Sokoban

game kecerdasan –

Bebas dari unsur kekerasan (plot/teks/audio/visual), tidak biyayakan (tanpa ‘tekanan waktu’ pun sama sekali tidak butuh kecepatan tangan) serta amat mudah dimainkan (cukup dengan ‘tombol panah’). Itulah antara lain karakteristik [game] Sokoban (arti: pekerja/buruh gudang).

dorong peti geser boks kotak

Soko-Ban‘ (level-1)—bersahaja namun canggih, tanpa ‘dar-der-dor/bak-bik-buk’

. . .(lanjutannya)

Scoville

– satuan ukuran –

Campur secangkir bubuk cabe dengan sekian cangkir air. Lalu cicipi. Pedas, kan? Tambahkan air dan rasai kembali. Demikian prosesnya diulangi terus sampai pedasnya tidak terasa lagi.

Bukan resep, itu cuma ilustrasi mudah bagaimana Wilbur Scoville (seorang ahli farmasi AS), saat ia sedang meramu sejenis salep, secara tak sengaja menemukan cara ‘menakar pedas‘.

. . .(lanjutannya)

SOS

– istilah maritim –

Di TTS (teka-teki silang) kadang ada soal begini: Save Our Souls—tiga kotak. Dan kalau kita isi dengan SOS, pasti cocok. Padahal sesungguhnya SOS bukanlah merupakan sebuah singkatan.

Malah—untuk lebih akuratnya lagi, sebenarnya SOS bukan SOS. Lho!?

. . . (lanjutannya)

vivere pericoloso

– istilah politik –

Arti vivere pericoloso (dari bahasa Italia) kurang lebih: hidup di tengah bahaya. Konon istilah ini awalnya berasal dari yel ‘Vivere Pericolosamente’ oleh Benito Mussolini sebagai slogan kaum Fasis , yang kemudian oleh Bung Karno dijadikan judul Pidato Kenegaraan tahun 1964 (‘Tahun Vivere Pericoloso’).

Entah kebetulan atau tidak, istilah politik ini selain cukup mewakili situasi Indonesia saat itu, juga lumayan merepresentasikan keadaan (posisi) Soekarno sendiri selaku presiden.

Internal, Indonesia sedang deras didera friksi antar kelompok (misalnya antara AD dan PKI), belum lagi masalah ekonomi. Eksternal, Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia (yang disuport oleh Inggris dan lalu Australia)—saat-saat munculnya istilah ‘Ganyang Malaysia’.

Sebagai presiden.. (lanjutannya)

kamikaze

– istilah taktik serang –

Tahun 1944, menjelang akhir Perang Dunia II. Di Pasifik, armada Sekutu bergerak menuju Jepang. Makin terdesak dan sadar kalah kekuatan, militer Jepang putar otak. Jelas, jika lawan mencapai Jepang, habis sudah. Kesimpulan: armada lawan harus dihancurkan (paling tidak digerogoti habis-habisan), saat masih berada di laut—jauh dari perairan Jepang. Dilandasi semangat samurai dan nilai-nilai bushido, muncul gagasan: menabrakkan pesawat terbang ke kapal—agar tenggelam. Skenario: sekian pesawat kecil (yang sudah dimuati peledak dan bahan bakar secukupnya) menyerang kapal lawan, dan minimal satu di antaranya sukses menabrak dan meledak. Perhitungan: Jepang hilang 1-3 pesawat kecil dan pilot dalam jumlah yang sama, tetapi Sekutu hilang satu kapal dan juga personil militer dalam jumlah jauh lebih besar (tewas/luka parah karena tertembak pesawat, kena dampak ledakan, atau tenggelam). Dari segi ‘hitung-dagang perang’—jika skenario jalan, Jepang akan ‘untung besar’ karena kapal (plus segala kelengkapannya) jelas jauh lebih mahal daripada pesawat kecil (dan ‘laba’ akan berlipat jika yang berhasil ditabraktenggelamkan adalah kapal induk). Serangan bunuh diri dari udara ini dikenal dengan nama kamikaze (‘angin dewa’ atau ‘angin agung’).

Setelah perang usai, kamikaze lalu menjadi istilah untuk berbagai serangan bunuh diri yang berdasarkan semangat dan nilai-nilai kehormatan dengan ‘pola hitung-dagang’ seperti di atas (sebuah truk/mobil butut yang menabrakkan diri ke barak militer lalu meledak, misalnya).

*****

—KK—