cadel

– kasus medis / linguistik –

Melihat usaha melatih [rrr..] adiknya yang cadel (tidak bisa bilang ‘R’) tidak juga berbuah hasil, Kakak dulu cuma berujar santai: “Sudah biar saja, nanti ngomong Inggrisnya malah gampang”. Memang, ada banyak ‘bunyi R‘ di dunia—misalnya yang enam ini (Mari, ‘tombol hotdog’-nya):

okesip-1 nyerut-1 H bingits
okesip-2 nyerut-2 gubrak!?

Pengucapan ‘R’ ala Indonesia relatif ‘galak’ (setara dengan kedua ‘okesip’ di kolom pertama) sedangkan ‘R’ ala Inggris umumnya lebih ‘teredam’ (mirip dengan dua model yang di tengah).

acar → semacam makanan (Indonesia)
a car → berarti ‘sebuah mobil’ (Inggris)

Perbedaan cara ucap [R] ini punya konsekuensi: orang yang ‘tidak bisa bilang R’ sesuai standar suatu bahasa, bisa saja ‘tidak cadel’ menurut standar bahasa yang lain (tak becus bilang ‘acar’ akan tetapi bisa mengucapkan ‘a car’ dengan sempurna tanpa kesulitan, misalnya).

Jadi Kakak benar: ngomong Inggris itu gampang. Hore!

*****

Dengan ‘R’ mereka yang demikian tidak [rrr..] itu, adalah jamak kalau orang Inggris umumnya bakal kesulitan bilang ‘R’ ala Indonesia. Lalu pertanyaannya: “Apa orang Inggris juga ada yang tidak bisa bilang ‘R’ mereka sendiri?—Apa istilah ‘cadel’ juga dikenal dalam bahasa Inggris?”

Rhotacism – bermasalah dengan [penguasaan] ‘R’

Ada. Itu istilahnya, dan kira-kira begitulah arti mudahnya. Pengertiannya mencakup:

sulit / tidak bisa bilang ‘R’ (ini yang umum kita istilahkan dengan ‘cadel’)
suka nambah-nambahin ‘R’ (sepertinya kita belum ada istilah untuk ini)

Yang pertama cukup jelas. Kategori yang kedua bagi kita mungkin rada aneh, tapi memang ada (seorang saudara sepupu di masa kecilnya dulu ada yang begitu—misal ‘makan’ jadi ‘makran’). Ini juga rhotacism, meski tidak termasuk dalam pengertian ‘cadel’ yang kita miliki.

*****

Kebermasalahan bilang ‘R’ ini hadir dalam berbagai bentuk/tingkat/persepsi

Woy25

Olok-olok cadel ala Inggris
(The Sun, edisi 2 Mei 2012)

Meski orang cadel bisa dipastikan bakal kesulitan menghadapi kalimat (bisa untuk ‘latihan’) seperti

“Uler melingker di pager bunder”

(Tu uler ngapain juga, coba?) banyak dari mereka yang relatif bisa menghadapi kata-kata semacam

kram – berani – seram – kerudung

Jadi jumlah dan posisi (pada penggalan suku kata) ikut menentukan seberapa sulit ‘R’ ybs diucapkan.

Yang agak lucu, ‘bunyi cadel’ pun ternyata variatif (aspek linguistik boleh jadi ikut berperan di sini).

Di Indonesia, umum orang akan berkata bahwa mereka yang cadel mensubstitusi ‘R’ dengan ‘L’ (‘barang’ menjadi ‘balang’, misalnya).

Tetapi di Inggris (yang ‘rrr..’-nya tidak semantap Indonesia itu), orang cenderung menganggap si cadel mengganti huruf ‘R’ tidak dengan ‘L’, melainkan ‘W’ (‘Roy’ menjadi ‘Woy’, misalnya). Tidak tahu persis di negeri Kanguru, yang jelas telinga di negeri Paman Sam setali tiga uang:

“Be vewwy vewwy quiet, I’m hunting wabbits.”
—Elmer Fudd (karakter Looney Tunes)

Dan entah, apa pula kata kuping India, Ceko, Nigeria, Ternate, Dayak atau Badui..

*****

Lazimnya ‘R’ adalah huruf terakhir yang dikuasai seorang bocah sehingga jika anak kecil tidak atau belum bisa bilang ‘R’, itu wajar. Barulah jika setelah menjelang remaja (atau apalagi jika hingga dewasa) tetap tidak bisa juga, kita akan menyebut ybs cadel. Toh, kecualian ada saja.

Sigmatism: seperti rhotacism, tetapi dengan ‘S’ (bunyi desis)
Lambdacism: seperti rhotacism, tetapi dengan ‘L’

Saat SD dulu, ada anak yang selalu ‘nyendat’ bila bersua dengan ‘S’—yang jika berucap dengan kecepatan normal malah bunyinya akan jadi lain (misalnya ‘bisa masak’ menjadi ‘biha mayak’).

Atau pernah pula dalam sebuah acara TV, ada narasumber (orang Indonesia) yang bunyi ‘L’-nya selalu hilang, meski untuk semua huruf lainnya (termasuk ‘R’) pengucapan ybs baik-baik saja.

*****

Pembaca ada yang cadel jugakah? (#salaman dulu) Atau tidak kunjung bisa ‘rrr..’ meski sudah amat berupaya untuk itu? Apa boleh buat, ada saatnya kita mesti berdamai dengan kenyataan.

Enjoy aja. Bukankah grup band/penyanyi/artis film yang fansnya tersebar di seluruh dunia itu rata-rata didominasi seniman Inggris/Amerika—yang notabene cadel menurut ukuran kita? Dan siapa mayoritas penggemar mereka di Indonesia? Orang-orang yang tidak cadel he..he..

Sungguh, hidup ini tidak berkurang indah hanya gara-gara kita tidak bisa bilang ‘R’, ok? 🙂

*****

(Lihat juga ‘aksen – dialek‘, termasuk tautan YouTube pada komen Nin S.)
———————————
(Penulis artikel adalah seorang yang tidak bisa bilang ‘R’)

Catatan

Kesulitan mengucapkan suatu ‘bunyi fonetik’ (huruf) bisa disebabkan faktor anatomis/medis atau kebiasaan/linguistik (dan tidak tertutup kemungkinan juga mental/psikologis).

Banyak bule/orang Barat yang ‘R-nya tidak cadel’ (standar Indonesia), misalnya orang Jerman atau bahkan Kanada (sekadar pendapat pribadi, bukan kesimpulan dari suatu hasil studi).

Istilah terkait
Lisp: istilah (Inggris) sehari-hari untuk sigmatism.
Lallation: dalam pengertian umum, sering diartikan sebagai kecenderungan [sementara, dan utamanya pada anak kecil] untuk mengganti ‘bunyi sulit’ tertentu—terutama ‘R’, dengan ‘L’.

Referensi
The Limping Chicken (frontpage ‘The Sun’ – Roy Hodgson)
Wikipedia (beberapa contoh bunyi ‘R’)

—KK—

17 thoughts on “cadel

  1. Gambaw halaman The Sun nya menawik!

    Haha.. coba itu, di sana pelatih timnas digituin. Dasaw the Sun!

    Update: Prita kamu yang paling atas, jadi nebeng link di sini ya (buat siapa saja), youtube.com/watch?v=lUkYLgOhrpo. Grup Inggris Arkarna nyanyi Indonesia.
    Pas bagian ‘Indonesia merah darahku’ dan ‘rawe-rawe rantas’ R-nya mantap sekali.
    Ekspresi para pelajarnya priceless.. (PS: tulisan T-shirt nya juga okesip! 🙂 )

    Arkana-Kebyar2-sekolah

  2. Bener juga ya, jadi dapet pencerahan setelah baca postingan ini. Bahasa cadel versi inggris malah kayak aksen yang keren gitu 🙂

    Sangat boleh jadi begitu, soalnya di Indonesia aksen cadel laris manis jadi artis hehe.. Tapi anehnya sampe sekarang belum ada yang nelpon minta saya jadi bintang film atau apa gitu.. 😦

  3. Salaman dulu….salah seorang adik juga mengalami cadel dan tidak hanya standar di huruf R, sempat diganjar tinggal di kelas 1 SD karena dinilai meski lancar menulis, berhitung namun ‘tidak mampu membaca’ Ya wis diterima, sempat lidah ditepuk tempe mentah segala (apa hubungannya coba), bertambah usia cadelnya menghilang.
    Terima kasih Mas KK ikut belajar di postingan menarik ini. Salam

    Hua..ha..ha..!! Saya di usia sesek (sekitar sèket) tetap cadel, pasti gara-gara tidak tahu trik tempe itu! (selamat untuk sang Adik).

    Waktu di SD tingkat lanjut dulu sebenarnya hampir bisa (kurang dikit, atau kadang bisa cuma dengan banyak bersusah payah). Tapi begitu masuk SMP (dapat Inggris) dan mendapati kecadelan ini justru memberi kemudahan pronunciation (giliran rata-rata teman yang ngomongnya semrawut), lalu jadi kehilangan motivasi untuk berlatih ‘rrr..’. Sampai sekarang (kurikulum kok dijadiin alasan) :mrgreen:

  4. Sampai sekarang saya juga pelo alias cadel, tidak bisa mengatakan bunyi ‘r’ dengan kuat dan jelas, tapi untungnya tidak sampai jadi ‘l’…. jadi persis seperti pengucapannya dalam bahasa Inggris. Pengucapan ‘r’ dlm. bahasa Inggris lemah tapi juga tak sampai jadi ‘w’.

    Oh ya, mereka yang pelo seringnya tak bisa menggulungkan ujung lidah, saya juga tak bisa. Mungkin karena lidah orang pelo lebih tebalan ? Tapi apa ya orang Chinese semua lidahnya tebal? Wkkkkk. Sebaliknya orang Jepang mengucapkan ‘l’ jadi ‘r’.

    Untuk mereka di Indonesia yang sedang belajar bahasa Inggris, selain ‘r’, salah satu yang perlu diperhatikan adalah bedanya pengucapan ‘t’ dan ‘d’. Lucu sekali kalau dengar ‘seafood’ jadi seperti ‘seafoot’ (what the heck is seafoot?) , he, he…..

    Ohiya benar itu, mungkin maksudnya di laut orang sering nemu kaki gitu kali ya? (serem banget hihihi..) Bunyi [th] juga, jadi alih-alih bilang ‘tiga anak laki-laki’, orang sering bilangnya ‘tree boys’ (anaknya wewe?) heh..heh..

    Konon orang Jepang kasusnya memang rhotacism [Engrishmen], tapi orang Chinese lebih merupakan lambdacism (ala ‘makran’-nya sepupu saya, tapi dengan ‘L’). Dan ini sepertinya klop. Hingga SMP dulu, saya banyak sekali temen Chinese (nongkrong, bal-balan dll). Dan rata-rata mereka nggak cadel kok (level ortu mereka juga banyak yang tidak, tapi kalau angkatan engkongnya sih umumnya iya). Lalu teman sesama ‘anak pitik’ (awal SD) yang dari Australia dll (rumah kami nempel universitas, jadi saya bisa seharian main dengan bule anak para dosen yang tinggal di dalam lingkungan kampus, termasuk sedikit chit-chat dengan Pak/Bu-nya) juga banyak yang tidak (pada bisa bahasa Indonesia bahkan Jawa, meski ‘rrr..’-nya tidak semantap yang Chinese). Jadi kesimpulan saya (observasi abal-abal): mereka yang [sejak kecil] terbiasa dengan lebih dari satu bahasa cenderung bebas cadel (tapi ini cuma berlaku untuk yang disebabkan faktor linguistik, bukan yang anatomis).

    Soal ‘subjek’, sepertinya masyarakat memang sering [tanpa sadar] cenderung stereotype (bahwa kalau di komik/film ada bule/Chinese maka ybs harus mengucapkan ‘orang’ dengan ‘olang’, misalnya). Soal ‘bunyi cadel’ juga suka asal pukul rata (selalu dibilang ‘L’, padahal kan ada juga ‘kh’, ‘hrh’ atau ‘fh’). Dan sueerr (liat tuh, nulisnya ampe dobel-dobel gituh, jadi harus percaya 👿 ), seingat saya belum pernah ketemu orang cadel yang mengucapkan ‘Mari..!’ dengan ‘Mali!’—adanya juga ‘Ma[u]wi’ (dan baru jika ketemu kata seperti ‘uler’ si ‘R’ jadi berubah seperti ‘L kepentok’). Apa boleh buat, mungkin orang memang harus cadel dulu untuk punya kepekaan natural seperti ini he..he..he..

    • Kalau kasus saya pribadi, di keluarga hanya saya sendiri yang pelo alias cadel. Papa, mama, kakak dan adik bahkan om, tante serta saudara sepupu no problem. Pokoknya saya sendiri yg. tak bisa mengatakan ‘rolling r’. Sekarang disini, suami (Belanda) dan anak yang hanya bisa bahasa Inggris, juga bisa membunyikan ‘rolling r’.
      Sepertinya kasus saya lebih cenderung anatomis dimana kebetulan saya juga tak bisa ‘tongue rolling’ sedangkan suami, anak serta saudara lainnya semua bisa. Menarik sekali ya kasus ini 🙂 Mungkin betul juga ada hubungan antara cadel dan tidak bisa menggulungkan ujung lidah.
      Bacaan bagus ttg. tongue rolling:
      udel.edu/~mcdonald/mythtongueroll.html

      Di rumah juga saya sendiri yang ‘R’-nya nyangkut. Ortu, paman/bibi, semua sepupu yang saya tahu beres semua. Beberapa kerabat (ketarik nikah) yang Chinese juga bisa ‘rrr..’, termasuk ipar yang Amrik. Yang agak kurang mantap (bukan tidak bisa) kerabat yang Kanada/Belanda, tapi objektif menurut saya ini lebih karena faktor aksen atau idiosyncrasy atau idiolek (alias kebiasaan/linguistik).

      Terima kasih linknya. Sudah nyoba seperti gambar, nggak bisa he..he.. Lidah ini sedikit lebih pendek dari rata-rata sepertinya (tapi apa iya itu yang jadi sebab utama saya cadel, tak tahu pasti).

      Kalau dipikir ajaib juga: lidah/mulut orang kan gitu-gitu aja (bedanya nggak ke mana), tapi bisa menghasilkan berbagai variasi bunyi yang bagai tak terhingga. Dan untuk tiap-tiap bahasa tanpa terkecuali, masih ada pula varian cadelnya heh..heh..

  5. Dapet istilah baru, rhotacism!

    by the waaaaaay, tombol hotdog-nya mengingatkan saya sama kelas pronunciation pas kuliah 😀

    Wah, baru dengar saya. Jadi waktu kuliah tu ada pelajaran pronunciation ‘hotdog’-‘hotdog’.. gitu ya? 😀 Terima kasih putrijeruk sudah mampir (kalau panenan minta)

  6. wah seru nih artikelna, suamiku cadel mba hihihi

    Terima kasih mba/buk Dewi (tapi ke sininya Mas/Paman aja kali ya heh..heh..). Heran juga—hampir 100% komenternya mba/bu, mungkin buat banyak pria topik cadel tidak menarik atau bahkan agak tabu (tapi saya mah cuek) 😀

  7. Dulu sih kata orang aku candel, tapi perlahan membaik ketika beranjak umur 7-8 tahun. Tetapi ada yang masih kebawa sampai sekarang, yaitu sulit membaca dengan lantang dan lancar, selalu ada yg sulit diucapkan, Terutama ketika selesai kalimat, titik, setelah itu huruf konsonan. Bisa dibilang gagap atau ‘ndak keco’ dalam jawa. Kira-kira gimana ya latihan yang efektif untuk melatif pelafalan dan kelancaran? #curcol 🙂

    Halo, terima kasih Hafidh. Wah, baru sadar saya. Sebagai orang yang tidak bisa bilang ‘R’, kuping saya secara naluriah cuma relatif tajam membedakan berbagai ‘bunyi cadel’, baru ngeh jika gagap pun ada macam-macam ya (seperti ‘konsonan setelah titik’ ini). Gampangnya, dari segi bunyi, saya termasuk ‘cacat huruf‘, sedangkan Hafidh lebih kepada ‘cacat jeda‘ (maaf, ini istilah sendiri saja).

    Setahu saya gagap (stammer/stutter) itu ‘nyendat’ (pause) yang cenderung diikuti pengulangan bunyi suku kata atau huruf pertama dari kata berikutnya itu ya? Sekadar tebak-tebakan awam, sebagaimana cadel, boleh jadi penyebab gagap juga bisa macam-macam (artinya sebuah treatment yang terbukti efektif untuk suatu kasus belum tentu bakal efektif pula untuk kasus lainnya). Tapi terus terang saya tidak tahu apa-apa soal ini. Toh sekadar referensi mungkin bisa cek link ini:

    1). stammering.org (penjelasan umum)
    2). home-cure.net (lebih detail)
    3). youtube.com (latihan nafas hingga makan/minum)

    PS: yang youtube itu [kayaknya] bahasa India, jadi mending download lewat keepvid.com karena di sana ada file subtitle/teksnya (SRT) yang bisa diunduh juga. Ok Hafidh, mudah-mudahan ada manfaatnya. 🙂

  8. Dapat pencerahan setelah baca posting ini.
    Dulu jaman “jahiliyah” sekitar tahun 70 – 80an orang bisa gak naik kelas gara-gara gak lancar membaca akibat cadel.
    Di balik kekurangan ada kelebihan, orang cadel lebih mudah ngucapin kalimat bahasa Inggris, 🙂

    Hehe.. cuma berusaha ambil aspek positif saja, sekalian sedikit ‘tribute’ untuk Kakak (yang jago nyemangatin adiknya). 🙂 Tapi iya juga ya, dulu penanganan untuk baca-tulis sepertinya memang beda—sampai ada pelajaran ‘menulis halus‘ segala.

    • Hal “menulis halus” ini menarik. Saya waktu sd awalnya tulisan cakar ayam. Lalu guru saya menganjurkan, malah disuruh bikin PR segal, buat tulisan halus kasar setiap minggu dan diserahkan. Lama kelamaan hasilnya menambah bagus tulisan saya. Intinya latihan dan kesabaran. Zaman saiki kalau ada yang menulis halus kasar itu suatu keajaiban, hehe…

      Betul itu. Malah seingat saya, selain tulisan halus (pakai buku tulis khusus) dan kasar (bisa di sembarang kertas), dulu selalu ada sesi tersendiri untuk tulisan dengan ‘huruf pisah’ dan ‘huruf sambung’.

      Sepertinya zaman memang sudah berubah. Sekarang sekian persen bentuk tulisan peserta didik dijamin sama persis karena merupakan produk dari hasil pencet tombol keyboard. 🙂

  9. Loh. Om Kutu cadel toh? Hoho.. Keren 😀

    Menarik ulasannya om. Nggak pernah kepikiran juga, apakah orang bule juga mengenal istilah ‘cadel’

    Halo, terima kasih BangKoor, lama tak sua. Tahu cadelnya Habibie atau Rizal Ramli kan? Saya sedikit lebih parah dari itu. :mrgreen:

    Oya, mumpung lagi bahasa tulisan, sedikit bergaya gak papa ya: “Rrr.. rrr.. rrr..!!”

  10. kata orang tua, harus sering makan pedas hehe. Biar lancar ngomong r

    Iya banyak yang pakai jurus itu—berakrab-akrab dengan ‘scoville’, supaya lidah terbiasa bergetar (kepedasan). Repotnya, waktu kecil saya nggak doyan lombok. :mrgreen:

  11. hal seperti ini bisa jadi topik yang keren ya 😀 anak saya jg sedang tahap berlatih berbicara, lucu banget. apa harus dikasih makanan pedas dari sekarang ya. hoho

    Halo, terima kasih fauziqbal. Selamat atas ‘profesi’ barunya (ayah). Wah, lomboknya buat camilan kedua ortunya saja, biar bisa selalu stanby menghadapi si lucu hehe.. Selamat menikmati dan menjalankan ‘tugas’ (RT & negeri). 🍸

  12. Wah kebetulan nih saya sama kakak saya dua-duanya cadel jadi yaa, sudahlah *salaman yuk kak* Dari kecil malah keluarga saya nggak terlalu menganggap asing kecadelan anak-anaknya, makanya saya sempet ngerasa aneh ketika masuk sekolah kok banyak yang ngeledekin….

    Tapiii, ada untungnya juga loh jadi cadel. Orang cadel masih bisa melafalkan huruf R bahkan ketika mereka lagi gigit lidah. Nggak percaya? Cobain deh! :))

    Haha..!! (barusan coba) Benar, ‘nggak ngaruh’ alias sama-sama nggak jelasnya! :mrgreen: Kayaknya yang macem kita gini memang suka diledekin ya? Cuma cerita saya agak beda—justru sayanya yang troublemaker. Kelas-1 SD sudah ajak kelahi kakak kelas. Dan sejak itu, berkali pindah sekolahan, orang selalu malas cari setori heh..heh..

    #salaman dobel-dobel tangan (sama kakaknya sekalian)

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.